Senin, 29 November 2010

HUKUM PERIKATAN DALAM JASA KONTRUKSI

HUKUM PERIKATAN DALAM JASA KONTRUKSI

Suatu kontrak kerja terjalin karena kesepakatan dari dua belah pihak yang sepakat melakukan pekerjaan dalam bidang kontruksi, sebelum pelaksanaan kerja terjalin biasanya kedua belah pihak membuat surat perjanji dan menetapkan kententuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagai kesepakatan kerja.
Dibawah ini contoh surat perjanjian kerja dalam bidang kontruksi Pelaksanaan Pembanguan Hotel dalam Pekerjaan Struktur dan Pasang Dinding , dalam surat ini PIHAK KESATU sebagai pemberitugas pekerjaan, dan PIHAK KEDUA sebagai pelaksana pekerjaan, Dengan kentuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:

PASAL 1
TUGAS DAN LINGKUP PEKERJA

Pekerjaan yang di tugaskan oleh PIHAK KESATU telah diterima oleh PIHAK KEDUA dan akan dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA sesuai kehendak PIHAK KESATU melingkupi ini:
1. Lingkup Pekerjaan (kegiatan yang akan dilakukan dalam pekerjaan)
a. pekerjaan persiapan
b. pekerjaan tanah dan urugan
c. pekerjaan struktur beton
d. pekerjaan baja
e. pekerjaan dinding batako
f. lingkup prasarana
2. Lingkup Jasa (keperluan yang harus disediakan oleh PIHAK KEDUA)
3. PIHAK KESATU menjamin dan bertanggu jawab dalam pemilikan dan pembebasan tanah serta IMB dan IPB, sehingga tidak mengganggu kelancaran pekerjaan
4. Jika terjadi perubahan pelaksaan diluar surat perjanjian harus mendapatkan ijin dari PIHAK KESATU

PASAL 2
DASAR PELAKSANAAN PEKERJAAN

Dasar-dasar Pelaksanaan Pekerjaan adalah :
1. Dokomen Tender yang dikeluarkan oleh Panitia Pelaksanaan Pembagunan
2. Surat Penawaran Harga yang telah disapakati
3. Peratura-peraturan Teknis Profesional, antara lain :
a. Peraturan-peraturan Umum (Algemen voorwaarde voordeuit coering bij aanneming van open bare weken in indonesia tanggal 28 Mei 1941 Nomer 9 Tambahan Lembaran Negara Nomer 14571)
b. Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Pembanguna Gedung (Dir.Jen. Cipta Karya)
c. Persyaratan Umum Dari Dewan Teknik Pembangunan Indonesia disingkat DTPI-1980
d. Peraturan Beton Indonesia 1991 dan Peraturan Gempa 1983
e. Peratuan Umum untuk Pemeriksaan Bahan Bangunan (NI. 2 PUBI 1983)
f. Standart Industri Indonesia
g. American Society for Testing Materials (ASTM)
h. Persyaratan-persyaratan lain yang ditetapkan dalam Persyaratan-persyaratan Pekerjaan ini serta yang berhubungan dengan pekerjaan ini.
i. Peraturan Umum Bahan Bangunan di Indonesia disingkat PUBI-1982. Normalisasi Indonesia (NI-3)
4. Peraturan yang dikeluarkan dari instansi-instansi berwenang seperti Peraturan-peraturan dari Depertemen Tenaga Kerja, Mengenai Keamanan kerja, Keselamatan kerja, dan Jaminan Sosial.
5. Petunjuk dan perintah diberikan oleh PIHAK KESATU
6. Jika terjadi penyimpangan peraturan Teknis Profesional ataupun tidak sesuai dengan bunyi Surat Perjanjian, maka yang berlaku mutlak adalah ketentuan-ketentuan dalam Surat Perjanjian ini.

PASAL 3
JANGKA WAKTU PELAKSANA

1. Pekerjaan dalam pasal 1 Surat Perjanjian harus diselesaikan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK KESATU
2. Selambatnya 7 hari dari tanggal Penyelesaian Pekerjaan, PIHAK KEDUA diharuskan mengajukan Permintaan kepada PIHAK KESATU untuk mengadakan pemeriksaan atas hasil kerja sebagai Berita Acara Serah Terima Pertama

PASAL 4
MASA PEMELIHARAAN

1. Masa pemeliharaan pelaksanaan pekerjaan pembangunan terhitung sejak tanggal Berita Serah Terima Pekerjaan yang pertama.
2. Setelah Berita acara Serah Terima Pertama ditanda-tangani oleh semua pihak, setiap bulan PIHAK KESATU akan membuat daftar kerusakan yang belum diperbaiki dan kerusakan yang lain yang timbul sampai Serah Terima Kedua.
3. Apabila PIHAK KEDUA tidak dapat menyalesaikan perbaikan atau tidak mampu menyelesaikan perbaikan, maka PIHAK KESATU setelah menguarkan surat peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut, PIHAK KESATU dapat menugaskan PIHAK KETIGA untuk mengerjakanya dengan biaya menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA
4. Setelah semua perbaikan selesai dan masa pemeliharaan telah berakhir, PIHAK KEDUA dapat menyerahkan hasil pekerjaan kepada PIHAK KESATU dan dilaksanakan dengan ditanda-tanganinya Berita Acara Terima yang Kedua oleh kedua belah pihak.

PASAL 5
NILAI KONTRAK

Nilai Kontrak untuk pekerjaan di atas yang dimaksud dalam Pasal 1 (nilai harus sudah termasuk PPN. 10%, Bea Materai, Resiko dan Keuntungan PIHAK KEDUA.

PASAL 6
CARA PEMBAYARAN

Pembayaran Nilai Kontrak pekerjaan tersebut dalam pasl 5 Surat Perjanjian dari
PIHAK KESATU kepada PIHAK KEDUA diatur sebagai berikut P:
1. Uang Muka sebesar 10% dari Nilai Kontrak akan dibayarakan setelah Surat Perjanjian ini ditanda-tangani oleh kedua belah pihak
2. Pembayaran kedua (Ke-II) sebesar 10% dari Nilai Kontrak akan dibayar pada bulan kedua
3. Pembayaran berikutnya berdasarkan prestasi pekerjaan yang dilakukan setiap bulan sesuai progres
4. Pembayaran prestasi pekerjaan 100% (Serah Terima Pertama) sebesar 95% dari Nilai Kontrak
5. 5% dari Nilai Kontrak akan dibayar setelah tanggal Berita acara Serah Terima yang Kedua ditanda-tangani oleh Kedua belah pihak.
6. Pembayaran untuk ayat 1 sampai 5 pasal ini akan dilakukan dalam waktu 14 hari sejak diterimanya Invoice dan dokumen-dokumen pendukung lainya.

PASAL 7
DENDA KETERLAMBATAN / KELALAIAN

1. Apabila PIHAK KEDUA terlambat menyerahkan pekerjaan dimaksud pada Pasal 3 Perjanjian ini, maka untuk PIHAK KEDUA akan dikenakan denda sebesar 0,1% dari Nilai Kontrak, dengan total denda sebesar 0,5% dari Nilai Kontrak.
2. Ketentuan pada ayat kesatu tidaj berlaku apabila keterlambaatan penyerahan pekerjaan disebabkan kejadian diluar kekuasaan dan kemampuan PIHAK KEDUA.
3. Apabila PIHAK KESATU terlambat menyelesaikan pembayaran kepada PIHAK KEDUA, maka PIHAK KEDUA berhak menerima bunga dari PIHAK KESATU sebesar 1% dari Nilai kontrak.

PASAL 8
PEMUTUSAN PEKERJAAN

1. PIHAK KESATU berhak secara sepihak dan seketika tampa Keputusan Hakim memustuskan Perjanjian Pekerjaan ini setelah terlibat dahulu memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 kali berturut-turut dengan jangka waktu 7 hari dari kalender
Perihal pemutusan perjanjia kepada PIHAK KEDUA, dalam hal PIHAK KEDUA :
a. PIHAK KEDUA tidak melaksanakn pekerjaan sesuai dengan isi Dokkumen Kontrak
b. Secara langsung terbukti dengan sengaja memperlambat / menunda pekerjaan
2. Bila terjadi penambahan ataupun pengurangan, maka hal tersebut akan diatur oleh kedua belah pihak

SUMBER : DOKUMEN ASLI PERUSAHAAN KONTRUKSI

HUKUM PERBURUHAN

Tujuan Hukum Perburuhan agar kita memahami posisi buruh dan majikan dalam suatu hubungan kerja, karena hubungan kerja pada dasarnya akan memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Hak dan kewajiban kedua belah pihak termuat dalam syarat-syarat kerja. Syarat-syarat kerja adalah petunjuk yang harus ditata / diatur oleh pihak buruh maupun majikan dalam suatu hubungan kerja serta dituangkan dalam PERJANJIAN KERJA

Syarat Kerja
- Upah
- Jam Kerja & Lembur
- Cuti dan Waktu Istirahat
- Pekerja Perempuan
- Perlindungan
- Perjanjian

1. Upah
Upah adalah hak pekerja / buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja / buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja / buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. (Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Dasar Hukum
- Pasal 27 UUD 1945
- UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

2. Jam kerja dan Lembur
· Pasal 77 UU 13/2003 , Waktu Kerja:
à 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
à 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
à Lembur adalah selebihnya dari jam kerja yang diatur dalam point di atas

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja harus memenuhi syarat:
1. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan
2. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu

Upah perjam
Rumus
· Bulanan : 1 / 173 X upah / bulan
· Harian : 3 / 20 x upah / hari
· Borongan/ dasar satuan : 1 / 7 X rata-rata kerja sehari

Upah Lembur
Hari Kerja Biasa:
- Jam I à 1,5 X upah per jam
- Setiap jam berikutnya (Jam II) à 2 X upah per jam
Hari istirahat mingguan / hari raya:
- Setiap jam dalam batas 7 jam atau 5 jam apabila hari raya jatuh pada hari kerja terpendek pada salah satu hari dalam 6 hari kerja semingu à 2 X upah per jam
- Jam I à 3 X upah per jam
- Setiap jam berikutnya (Jam II) à 4 X upah per jam

3. Cuti dan Waktu istirahat
a. cuti besar / istirahat panjang , bagi buruh yang telah bekerja selama 6 tahun terus-menerus pada seorang majikan atau beerapa majikan yang tergabung dalam satu organisasi berhak istirahat selama 3 bulan lamanya
b. cuti haid, tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid
c. cuti hamil / bersalin / keguguran, buruh perempuan diberi istirahat 1 ½ sebelum dan 1 ½ setelah melahirkan, atau 1 ½ bulan setelah gugur kandungan
d. cuti menunaikan ibadah agama, diberikan waktu cuti secukupnya tanpa mengurangi hak cuti lainnya

Cuti karena alas an penting
a. pekerja/buruh menikah : 3 hari
b. menikahkan anaknya : 2 hari
c. mengkhitankan anaknya : 2 hari
d. membaptiskan anaknya : 2 hari
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan : 2 hari
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia : 2 hari
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia : 1 hari

4. Pekerja perempuan
a. Pekerja perempuan dilarang dipekerjakan pada malam hari dan pada tempat yang tidak sesuai kodrat dan martabat
b. Pekerja perempuan tidak diwajibkan bekerja padahari pertama dan kedua waktu haid
c. Pekerja perempuan yang masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya menyusui bayinya pada jam kerja
Pekerja Anak
· Laki-laki / perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun
· Pengusaha dilarang mempekerjakan anak
· Pengusaha yang mempekerjakan anak karena alasan tertentu wajib memberikan perlindungan:
a. Tidak mempekerjakan lebih dari 4 jam sehari
b. Tidak mempekerjakan dari pk. 18.00 – 06.00
c. Tidak mempekerjakan dalam tambang bawah tanah, lubang bawah tanah, di terowongan
d. Tidak mempekerjakan pada tempat yang membahayakan kesusilaan, keselamatan, dan kesehatan kerja
e. Tidak mempekerjakan anak pada pekerjaan kontruksi jalan, jembatan, bangunan air, dan bangunan gedung
f. Tidak mempekerjakan di pabrik di dalam ruangan ayng tertutup yang menggunakan alat mesin
g. Tidak mempekerjakan anak pada pembuatan, pembongkaran dan pemindahan barang di pelabuhan, dermaga, galangan kapal, stasiun, tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan serta tempat penyimpanan barangs

5. Perlindungan
a. Tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta kesusilaan, pemeliharaan moril kerja sesuai martabat manusia
b. Tenaga kerja berhak atas jaminan social tenaga kerja yang terdiri dari jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, jaminan pemeliharaan kesehatan

6. Perjanjian kerja
a. Hubungan kerja adalah hubungan perdata yang didasarkan pada kesepakatan antara pekerja dengan pemberi pekerjaan atau pengusaha.
b. Perjanjian kerja berisikan hak dan kewajiban masing-masing pihak baik pengusaha maupun pekerja
c. Perjanjian kerja lisan à diperbolehkan akan tetapi wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan, yang memuat: nama dan alamat pekerja, tanggal mulai bekerja, jenis pekerjaan, besarnya upah.\
d. Perjanjian untuk waktu tertentu tidak boleh lisan
e. Perjanjian kerja tertulis harus memuat:
· Nama, alamat perusahaan serta jenis usaha
· Nama, alamat, umur, jenis kelamin, alamat pekerja
· Jabatan atau Jenis pekerjaan
· Tempat pekerjaan
· Upah yang diterima dan cara pembayaran
· Hak dan kewajiban para pihak
· Kategori perjanjian (PKWT, atau PKWTT)
· Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
· Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat
f. Perjanjian kerja didasarkan pada
· Kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan hubungan kerja
· Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
· Ada pekerjaan yang diperjanjikan
· Perkerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
g. Macam macam perjanjian kerja
· Perjanjian Kerja Waktu Tertentu à jangka waktunya tertentu
· Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu / karyawan tetap
· Perjanjian Kerja dengan Perusahaan Pemborong Pekerjaan
· Perjanjian Kerja dengan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja
h. Perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan wajib dibuat secara tertulis oleh pengusaha, memuat syarat kerja dan tata tertib perusahaan, harus disahkan oleh menteri atau petugas yang ditunjuk
i. Hal yang diatur à hak dan kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban pekerja, syarat kerja, tata tertib perusahaan, jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan paling lama 2 tahun
j. Perusahaan yang memiliki karyawan di atas 50 orang wajib mempuat Perjanjian Kerja Persama

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
· KKWT adalah hubungan kerja yang waktunya terbatas
· KKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja
· KKWT hanya diperbolehkan untuk:
- pekerjaan yang sekali selesai / sementara,
- pekerjaan yang diperkirakan akan selesai dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun,

Pemutusan Hubungan Kerja
· pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya
· pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali
· pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
· pekerja/buruh meninggal dunia.

Perhitungan uang pesangon
· masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
· masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
· masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
· masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
· masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
· masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
· masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
· masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
· masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja
· masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
· masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
· masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
· masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
· masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
· masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
· masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

Uang pengganti hak yang seharusnya diterima
· cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
· biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
· penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
· hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.




SUMBER:
http://hukbis.files.wordpress.com/2008/05/hukum-perburuhan.ppt
http://www.scribd.com/doc/17222335/Hukum-Perburuhan

Senin, 01 November 2010

HUKUM dan PRANATA BANGUNAN

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.

Bidang Hukum

1. Hukum Pidana
Hukum pidana atau hukum publik adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman berupa nestata bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Dalam hukum pidana dikenal, 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.


2. Hukum Perdata
Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan .
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1. Hukum keluarga
2. Hukum harta kekayaan
3. Hukum benda
4. Hukum Perikatan
5. Hukum Waris

3. Hukum Acara
Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara atau sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya . Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hokum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hokum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim. tegaknya supremasi hukum itu harus dimulai dari penegak hukum itu sendiri. yang paling utama itu adalah bermula dari pejabat yang paling tingi yaitu mahkamah agung ( [MA] )harus benar-benar melaksanakan hukum materil itu dengan tegas. baru akan terlaksana hukum yang sebenarnya dikalangan bawahannya.

Pranata adalah norma atau aturan khusus mengenai suatu aktifitas tertentu dalam masyarakat. Pranata dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis,sanksinya adalah sanksi moral/sosial. Pranata bersifat mengikat danrelatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu :simbol,nilai,aturan main,tujuan ,kelengkapan dan umur

2. PERATURAN – PERATURAN YANG TERKAIT DENGAN PEMBANGUNAN
UU No. 05 Tahun1960 Tentang UU Pokok Agraria
UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun
UU No. 04 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Permukiman
PP NO 80 TAHUN 1999 tentang kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri
UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
KEPRES NO 63 TAHUN 2003 tentang badan kebijaksanaan dan pengendalian pembangunan perumahan dan permukiman nasional.
PP NO 36 TAHUN 2005 tentang peraturan pelaksanaan UU NO 28 TAHUN 2002
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
3. UU no.26 tahun 2007 TENTANG PENATAAN RUANG
Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik
sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang
laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi,
maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu
disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat
yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna
yang terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila.
Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut,
Undang-Undang tentang Penataan Ruang ini menyatakan
bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang, yang
pelaksanaan wewenangnya dilakukan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dengan tetap menghormati hak yang
dimiliki oleh setiap orang.
2. Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berada di antara dua benua dan dua samudera sangat
strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun
internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia
sangat khas karena posisinya yang berada di dekat
khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang
merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar bagi
bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai
sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan
rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam
keselamatan bangsa. Dengan keberadaan tersebut,
penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus
dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan
kelestarian lingkungan hidup.
3. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya
ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal
tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, Undang-
Undang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan
ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan
lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan,
serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi
ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini
harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses
perencanaan tata ruang wilayah.
4. Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal
batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional,
serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata,
luas, dan bertanggung jawab, penataan ruang menuntut
kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi
menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan
keterpaduan antardaerah, antara pusat dan daerah,
antarsektor, dan antarpemangku kepentingan. Dalam Undang-
Undang ini, penataan ruang didasarkan pada pendekatan
sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut,
wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang,
didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah
administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif
tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah
4. UU no.4 tahun 1992 TENTANG PERUMAHAN dan PEMUKIMAN
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga;
2, Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempal tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan;
3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana
dan sarana lingkungan yang terstruktur;
5. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana
mestinya;
6. Sarana lingkungan adalah fasililas penunjang, yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan penqembangan kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya;
7. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan;
8. Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah
dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar
yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi
dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan
rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan
sarana lingkungan, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana
tata ruang lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta;
9. Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian
dari kawasan siap bangun ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan
dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai
dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling
tanah matang;
10. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan
sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan,
pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian untuk membangun bangunan;
11. Konsolidasi tanah permukiman adalah upaya penataan kembali
penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat Pemilik
tanah melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap bangun
dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang
yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II, khusus untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Sabtu, 26 Juni 2010

PENGANTAR ARSITEKTUR

ARSITEKTUR KRISTEN AWAL



Geografis, Geologis dan Iklim

Agama kristen lahir dan berkembang di Wilayahtimur, dibawa Santo Petrus dan santo Paulus ke Roma yang kemudian menjadi pusatnya (sir Banister fletcherA History of architecture, The Athlone Press. London. 1975.h.345.) Wilayah kekaisaran Roma mencangkup seluruh wilayah di sekeliling Laut Mediterania, termasuk Syria, Asia Minor dan Afrika Utara. Pada wilayah itulah berkembang Arsitektur yang mempunyai ciri khas, pada jaman Kristen Awal (313-800).
Aspek geologi berpengaruh pada arsitektur Kristen Awal, pada bahan bangunan khususnya bahan galian. Pada umumnya dimana didirikan, di situlah bahan banguna diambil seperti misalnya batu dan marmer, demikian pula bahan-bahan lainnya untuk dekorasi termasuk mozaik dan patung.
Iklim berpengaruh pada sistem penghawaan dan pencahayaan alami. Pada wilayah yang lebih panas, biasanya lebih banyak membuat jendela.




Sejarah
Sejarah Kristen Awal dimulai dari Jaman Constaintine (Constantine I 280-337 M, Kaisar Roma dengan sebutan Konstaintin yang Agung/ Constaintine the Great, terkenal dengan kebijakannya menerima dan mengesahkan agama Kristen, sama dan setingkat dengan kepercayaan yang sudah ada sebelunnya. Terkenal pula sebagai Kaisar Roma yang memindahkan pusat administrasi dan pemerintahan dari Roma ke Konstatntiopel “Constantinople” sekarang Istanbul di Turki, pada 330). Hingga Charlemagne (800). Serbuan Huns (Huns adalah suku bangsa Mongol yang hampir satu abad sangat berpengaruh terhadap sejarah eropa, dengan serangan-serangan dan penguasaan, hingga 454 M). Yaitu orang-orang mongol ke Eropa sekitar 376, berhasil menguasai wilayah utara hingga Itali. Pada 410 Roma jatuh ke tangan orang-orang Goth di bawah Alaric.
Peperangan tersebut hanya bagian kecil dari berbagai konflik di Eropa. Pada 584 orang-orang Lomdard (orang-orang jermal berasal dari skandinavia atau jermal utara yang mendominasi seluruh itali antara 584-774), menguasai hampir seluruh itali sampir sekitar dua abad.
Pada 800, charlemange (charlemange adalah raja frank, kaisar terbesar dalam dinasti carolingian yang juga di ambil dari namanya. Charlemange artinya charles agung ”charles the great”, juga digelari Charles I, selain menjadi raja perancis, juga emperor tahta suci romawi “holy Roman Empire”) dinobatkan menjadi Emperor oleh Paus dari Roma, sejak itu kekaisaraan menyatu dalam sisitem pemerintahan dengan tahta suci romawi, berlangsung hingga 1806. Roma tidak lagi mendominasi budaya dan arsitektur kristen sejak tahun 800-1000, karna sekain timbul regionalisme, juga pengaruh romanesque menjadi lebih kuat.
Constatine memindah pusat pemerintahan dari roma ke istanbul di wilayah byzantine yang namanya kemudian di ubah menjadi Constantinople. Sistem pemerintahan juga di ubah menjadi kekuasaan mutlak (absolute monarch) hingga saat kematianya pada 337. Kekuatan kristen menjadi goyah karna kekacauan ditimbulkan oleh julian apostate, sehingga ke keisaran romawi pada 364 terpecah menjadi dua: valentian memerintah wilayah barat dan sodaranya valens diwilayah timur. Teodosius 379-95 berhasil menyatukan kembali kekuasaan wilayah timur dan barat
Suatu rangkaian emperium di barat berakhir pada 376 M, setelah emperium barat dan diruntuhkan oleh Zeno memerintah di konstantinople. Kembali lagi terjadi perubahan kekuasaan, menjadi teodoric dan goth yang memerintah itali 493-526, dimana tercapai masa puncak kedamaian dan kemakmuran. Pada jaman kebangkitan ini, budaya dan seni byzantine banyak mendapat pengaruh dari zaman kristen awal berikutnya raja di pilih dari semacam negara bagian dari spanyol, gaul (sebagian besar perancis sekarang), afrika utara dan itali sendiri. Emansipasi di eropa barat langsung dengan kontrol dengan emperium, mendorong berkembangnya budaya romano-teotonic, memberikan kemudahan, pada berdirinya negara-negara baru (bukti dari sejarah ini, hingga sekarang masih terlihat pada banyak nya negara-negara kecil di eropa seperti monaco, belgia dll, berasal dari sistem veodal, para tuan tanah). Kecendrungan semacam itu medorong kristen menjadi lebih kuat, ditangan para uskup (bishop) di roma. Formasi dari negara” baru ini selain membuat budaya regional jg mendorong berkembangnya bahasa-bahasa mengganti bahasa latin.

Arsitektur Gereja Basilika dan gereja

Pada setiap jaman kebudayaan berkembang termasuk seni dan arsitektur kadang-kadang secara sadar dan kadang secara tidak disadari. Seni masa lampau terekspresi pada masa sesudahnya. Dalam arsitektur suatu gaya merupakan perkembangan atau pengembangan dari gaya sebelumnya, setelah mengalami suatu rangakaian perubahan secara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit. Para pengrajin dan seniman pada jaman Kristen Awal merupakan penerus dari tradisi Romawi. Namun menurunnya kemakmuran yang sejalan dengan menurunnya kekuasaan, membuat pembangunan lebih menyusuaikan pada kegunaannya dan kesediaan bahan jadi faktor tertentu.
Bangunan jaman kristen awal (awal abad IV hingga akhir abad VIII), mempunyai nilai yang mendasarkan pada penyelesaian masalah kontruksi. Gereja-gereja Basilikan mempunyai kolom-kolom berjarak lebar menyangga entablaure ataupun pelengkungan untuk mendapatkan bentangan lebih lebar. Ciri lain dari gereja-gereja basilika adalah kerangka atap dari kayu di atas ruang umat utama (nave), di kiri-kanan terdapat sayap atau di sebut aisle. Kolom berderet dikiri-kanan membentuk ruang panjang, pada ujungnya terdapat apse yang denahnya berbentuk setengah lingkaran atau setengah segi banyak.
Atrium atau halaman dikelilingi oleh portico, sebagai ruang peralihan dari luar kedalam gerejajuga menjadi ciri dari arsitektur jaman Kristen Awal.
Warna, kaca warna dan mozaik mulai banyak digunakan dalam bangunan-bangunan pada jaman ini, termasuk lukisan pada bagian dalam dari kubah.
Basilika (basilica) telah disebut di depan adalah banguna pada jaman romawi, digunakan untuk gedung pengadilan. Pada jaman kristen, kemungkinan bentuk bangunan yang biasanya besar, mgah dan indah menjadi inspirasi para arsitek untuk membangun gereja. Jadi istilah gereja basilika digunaka untuk gereja yang besar biasanya terbesar dilingkungannya.
Gereja basilika santo petrus (basilica church saint peter) di roma (330) didirikan oleh Constantine di dekat martyrdom S. Petrus di dalam circus nero. Gereja basilika ini didirikan di lokasi di mana Katedral yang sekarang berada dengan nama yang sama, dalam komplek vatikan, di roma. Denahnya segi empat, terdiri dari bagian utama dan bagian peralihan berupa atrium dikelilingi oleh portico , yang denah keseluruhan juga segi empat. Sebelum masuk ke atrium ada dua menara kembar mengapit gerbang masuk. Gerbang masuk ini dapat di capai melalui tangga melebar, hampir selebar gereja.
Bagian utama terdiri dari nave yaitu ruang umat utama, di tengah, diapit kembar aisle yang terdiri dari dua lajur. Pada ujung sumbu tengah dari nave, terdapat apse, dalam hal ini denahnya setengah lingkaran. Pada tengahnya diletakan altar. Di sebelah selatan menempel pada sanctuary, terdapat unit kembar denahnya lingkaran, beratap kubah, satu untuk makam Honorius, lainya untuk gereja kecil.
Dinding kiri-kanan nave tinggi dan lebar, ditumpu oleh deretan kolom. Seperti pada kebanyakan bangunan romawi, kolom-kolom tersebut bercorak dekorasi korintien. Kolom berderet menyangga pelengkung-pelengkung. Atap dari nave, berupa kontruksi kuda-kuda kayu, berbentuk pelana yaitu atap berisi miring dua. Pada sepanjang dinding bagian atas dari nave, terdapat deretan jendela masing-masing ambangnya lengkung, khas arsitektur Kristen Awal. Aisle yang terdiri dari dua lajur, konstruksi atapnya setengah kuda-kuda (kuda-kuda dengan satu sisi miring), juga disanggga oleh deretan kolom menyangga pelengkung-pelengkung seperti pada nave
Wajah depan bagian utama bagian utama dari Gereja Basilika Santo Petrus (basilica church saint peter) di roma merupakan ciri dari arsitektur Kristen Awal, yaitu sama dengan penampang melintang. Simetris, bagian tengah adalah dinding ujung dari nave, bagian kiri dan kanan, dinding ujung dari aisle. Kontruksi atap portico setengah kuda-kuda, sisi miring tunggal, bagian dalam di sangga oleh kolom-kolom terbuka kearah atrium, sisi lainnya dinding.



Basilika S. Maria Maggiore juaga di roma (432), di bangun oleh Paus Sixtus III (432-440). Slah satu dari tempat basilika di roma masih ada, sehingga dapat di liahat keindahan antara lain dari nave, diapit kembar kiri-kanan oleh aisle tunggal (salah satu).



Kolom-kolom marmer berderet dikiri-kanan nave, coraknya Ionik, menyangga entablature berhiaskan mozaik asli dari jaman Paus Sixtus III. Jendela atas berderet, selang-seling dengan panel-panel, dimana masing-masing dihiasi lukisan. Lukisan pada panel dinding tersebut bertema sejarah Perjanjian lama, di antaranya lukisan penyebrangan Laut Merah dan jatuhnya Jericho. Rengka atap ditutup dengan plafond, diukir dengan pola kotak-kotak.
Gereja S. Clemente di Roma (1099-1108), dibangun kembali di atas lokasi dimana sebelumnya sudah ada gereja, jauh lebih tua yang dibongkar.Bebe rapa pondasi lama masih ada pada ruang bawah tanah yang beratap pelengkup(crypt). Meskipun dibangun pada jaman Kristen awal, namun ciri arsitektur jaman Kristen awal masih sangat kuat mendominasi gereja ni.


Atrium dikelilingi portico atau arcade di sebelah timur dari unit pertama, di tengah-tengah ada air mancur untuk pensucian dan pemandian. Pintu masuk ke dalam atrium ada dua : yang utama di depan sebelah timur melalui sebuah porch, satu lainnya pada portico lateral utara. Bagian utama gereja seperti hampir semua gereja pada jamannyasegi empat, memanjang diujung’a terdapat apse , sanctuary dan altar. Di bagian depan dari nave ada choir yaitu tempat untuk koor penyanyi gereja. Choir dikelilingi dinding semacam pagar (balustrade), di kiri terdapat gospel ambo, di sebelah kanan epistle ambo, tempat berkotbah dan membaca ayat-ayat suci dari Injil. Meskipun pandangan dari luar simetris, namun aisle dari gereja tidak sama, yang di sebelah selatan lebih lebar.

http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=627798490825212387



Konstruksi portico lateral berupa kolom-kolom lonik, depan dan belakang berupa pelengkung patah silang diagonal. Pada ruang utama, kolom-kolom berderet pada kiri kanan nave juga lonik menyangga pelengkung-pelengkung, dihias dengan mozaik, molding dan relief. Apse denahnya setengah lingkaran, beratap setengah kubah, dihias ornament gaya baroque. Gereja S. clement di Roma (1099-1108), denah dan potongan membujur (kiri), tempat duduk para Uskup, kepala dari kolom untuk ilin (cendelabrum) dan detail sudut panel dari balustrade pada choir (kanan atas). Porch (gerbang masuk), atrium dikelilingi portico, gospel ambo (kiri-bawah) dan epistle ambo (gambar-gambar di kanan-tengah). Ruang dalam (bawah).
Gereja Saint Paolo Fouri le Mura (380) adalah juga salah satu dari basilica utama di Roma, dibangun diatas makam dari Santo Paulus (Saint Paul). Pada 1832 gereja mengalami musibah kebakaran sehingga hampir memusnahkan seluruh bamgunan, namun didirikan kembali menurut rancangan aslinya.
Denah, pandangan depan tata ruang gereja, identik dengan Gereja Basilika Santo Petrus, Roma, lama yan sudah tidak ada. Nave diapit kembar oleh aisle ganda di kiri kanan, apse diujung berdenah setengah lingkaran. Kolom berderet membujur terdiri dari empat baris, menyngga dinding dan konstruksi atap : di tengah kuda-kuda dari atap pelana, kiri-kanan setengah kuda-kuda ganda dari atap satu sisi miring. Semua kepala kolom dihias dengan corak Korintien.




Atrium dikelilingi portico menjadi cirri dari arsitektur gereja pada jaman ini, dahulu juga ada, namun asebagian sudah runtuh.




Diluar Roma tidak sedikit gereja dan basilika dibangun dengan arsitektur berciri khas seperti beberpa gerejadikemukakan diatas. Di Ravenna, sebuah kota di Itali utara-timur, beberapa kilometer dari pantai Mediterania, terdapat sebuah gereja bernama S. Apollinare in Classe (534-9). Gereja didirikan oleh Justanian diatas lokasi dimana sebelunya terdapat kuil pemujaan dewa Apolo. Kemungkinan besar seniman dan pengrajin dalam membangun gereja ini dari Byzantine, sehingga pengaruh arsitektur Constantinople cukup besar dalam gereja ini.
Bentuk denah sederhana, segi empat panjang 45.70 M x 30 M, nave ditengah apit kembar di kiri-kanan oleh aisle-tunggal. Atrium-nya saat ini sudah tidak ada, ruang peralihan luar dan dalam hanya berupa narthex. Kolom berderet di kiri-kanan menyangka deretan pelengkung berkepala Korintien, dihias dengan mozaik, alur=alur dan lukisan dinding apse dibanding dengan bagian utamanya cukup besar, denah di dalam setengah lingkaran penuh, namun dinding luarnya setengah polygonal. Apse ini dalam tinggi, dicapai harus melalui tangga, karena berada di atas ruang yang sebagian di bawah tanah (crypt).



Ada perbedaan secara prinsip dibanding dengan gereja-gereja dibahas sebelum ini adalah pandangan depan yang tidak simetris. Yang membuat tidak simetris adalah sebuah unit di sebelah kiri atau utara depan dari gereja untuk masuk dari sisi utara. Campanil atau menara lonceng yang terdapat di sisi utara, denahnya juga agak berbeda dibanding dengan lainnya, disini berbentuk lingkaran.



Atap di atas nave kontruksinya kuda-kuda berbentuk plana dengan dua sisi miring, dan satu sisi miring di atas aisle, menjadi ciri dari arsitektur Kristen Awal, juga terdapat pada gereja ini. Pada ruang dalam, kontruksi kuda-kuda dari kayu tidak ditutup dengan plafond, sehingga menjadi bagian dari dekorasi.



Di Solonica, sebuah kota di pantai barat Laut agean (sekarang dalam wilayah yunani), terdapat sebuah gereja bernama S. George, didirikan ketika wilayah itu dijajah Romawi (300). Denahnya berbeda dengan gereja-gereja didiirikan sejaman yang cenderung membuat denah segi empat, di sini lingkaran. Dindingnya berbentuk silindris, sangat tebal, tidak kurang dari lima meter. Pada bagian atas 15 M dari tanah sedikit berkurang ketebalannya menjadi sekitar tiga meter. Atapnya kubah berdiameter 24.49 M, namun di atasnya terdapat kontruksi kerangka kayu ditutup genteng, bentuk kerucut hampir datar, bentuk segi tiga. Dengan demikian dari segi ruang dalam, maka kubahnya hanya berfungsi sebagai penutup semacam plafond, namun berubah ceruk (bagian dalam dari kubah). Pada dinding bagian atas terdapat tujuh jendela, karena tebalnya dinding, jendela-jendela yang ambangnya pelengkung ini mirip seperti ceruk. Pintu masuk dari sisi di bawah salah satu dari tujuh jendela
. Di Solonica, sebuah kota di pantai barat Laut Agean ( sekarang dalam wilayah Yunani ), terdapat sebuah gereja bernama St. George, didirikan ketika wilayah itu menjadi jajahan romawi ( 300 ). Denahnya berbeda dengan gereja – gereja didirikan sejaman yang cenderung membuat denah segi empat, disini lingkaran Dinidingnya berbentuk silindris sangat tebal, tidak kurang dari lima meter. Pada bagian atas 15 M dari tanah sedikit berkurang ketebalannya mejadi sekitar tiga meter. Atapnya kubah berdiameter 24.40 M, namun di atasnya terdapat konstruksi kerangka kayu ditutup genteng, berbentuk kerucut hampir datar, bertumpuk tiga. Dengan demikian dari segi ruang dalam, maka kubah hanya berfungsi sebagai penutup semacam plafond, namun berupa ceruk ( bagian dalam dari kubah ). Pada dinding bagian atas terdapat tujuh jendela, karena tebalnya dinding jendela – jendela yang ambangyna pelengkung ini mirip seperti ceruk. Pintu masuk dari sisi di bawah selalu satu dari tujuh jendela.



Apse terdapat di ujung sebuah ruang yang denahnya segi empat, menjorok ke luar dinding, pada sumbu membujur dari nave yang bentuknya lingkaran tersebut. Selain ketujuh jendela, semua jendela besar kecil lain ambangnya juga pelengkung, khas Romawi gereja ini tidak mempunyai hiasan, sangat bertolak belakang dengan bangunan – bangunan lain yang sejamannya.
Salah satu gereja yang menyandang nama karena mepunyai denah berbentuk lingkaran adalah gereja St. Stefano Rotondo di Roma ( 468 – 83 ). Gerja ini terbesar di antara gereja – gereja lain berdenah lingkaran ( diameter 64 M ). Lingkaran terdiri dari dua bagian : lingkaran dalam dan lingkaran luar. Lingkaran luar dibagi menjadi delapan segmen, untuk empat buah kapel ( gereja kecil ). Masing – masing kapel mempunyai pintu langsung, denahnya radial bagian dari lingkaran. Apse kecil dari setiap kapel, menjorok ke luar, denahnya setengah lingkaran.



Altar utama terdapat di tengah dari lingkaran dalam ( lingkaran pusat ), bergaris tengah 23,17 M. Bagian ini dikelilingi oleh 23 kolom silindris model Korientin, menyangga pelengkung dan entablature berbentuk cincin. Di atas entablature, ada tambour dari sebuah atap nerupa kerangka kuda – kuda kayu pyramidal, ditutup oleh genting. Tambour sangat tinggi, sekitar 23.00 M, dari permukaan tanah, pada bagian atas terdapat berderet jendela yang ambang atasnya pelengkung. Atap lingkaran tengah dahulu berupa kubah, namun saat ini bentuknya kerucut, tidak terlalu runcing, terdiri dari kuda – kuda kayu ditutup genting
Lingkaran tengah atau lingkaran pusat tersebut dikelilingi oleh semacam gang ( ambulatory ), pada garis kelilingnya terdapat deretan melingkar kolom – kolom silindris Korintien. Atap lingkaran luar tersebut setengah kuda – kuda membentuk sisi miring tunggal, posisinya jauh lebih rendah dari atap lingkaran

Makam dan Babtistery




Meskipun tidak semuanya, namun bentuk gereja segi empat panjang merupakan kecenderungan dan menjadi salah satu cirri kecenderungan dan menjadi salah satu cirri arsitektur Kristen Awal. Sebaliknya bangunan makam pada jaman yang sama, lebih banyak yang denahnya lingkaran atau polygonal. Kemungkinan bentuk lingkaran cocok untuk makam karena mempunyai titik focus, sehingga pada titik itulah sangat tepat untuk meletakkan makam.
Salah satu contoh dari kecenderunagn ini adalah makam St. Constanza di Roma, dibangun pada 330 oleh Constantine untuk makam adiknya Constantia. Pintu masuk melalui sebuah porch, berdinding tanpa tiang denga tiga pintu masuk, terbesar di tengah diapit kembar di kiri kanan dengan pintu lebih kecil. Ketiga pintu ambangnya melengkung, khas Kristen Awal.



Ruang dalam terdiri dari bagian tengah berdenah lingkaran diameter 12.20 M, dikelilingi oleh semacam nave tetapi melingkar lebarnya 5.00 M. Gang semcam nave melingkar tersbut terbentuk oleh dinding luar dan deretan kolom granit posisinya pada lingkaran, sebanyak 12 buah, masing – masing ganda dan kembar. Penampang atap gang, berupa pelengkung setengah lingkaran. Kolom – kolom menjadi tumpuan dari pelengkung, yang juga posisinya melingkar. Pada bagian atas diameter dinding mengecil, menjadi tambur ( tambour ) atau drum, menumpu atap berbentuk kubah. Di sekeliling tambour terdapat berderet jendela atas, ambang atasnya pelengkung setengah lingkaran, seperti jendela di sebagian besar bangunan jaman Romawi. Identik dengan gereja disebut terakhir sebelum ini, kibah ditutup oleh atap berbentuk pyramidal. Dengan demikian kontruksi kubah lebih berfungsi sebagai plafond.




Meskipun denah makam Theodoric di Ravenna ( 530 ) juga lingkaran, namun bentuknya sangat berbeda dengan makam Constanza di Roma, tersebut di atas. Makam terdiri dari dua lantai, dinding bagian bawah lebih tebal dan uniknya did lam berdenah salib sama kaki. Dinding bagian luar poligoanl sepuluh sisi ( decagonal ) berdiameter 13.7 M pada setiap sudut terapat semacam pilaster, bentuk mengikuti denahnya. Atap yang juga menjdai plafond dari lantai bawah berbentuk pelengkung.
Lantai dua dindingnya tidak setebal lantai satu, denah bagian dalam lingkaran penuh, sedangkan bagian luar decagonal. Selain denahnya yang berbentuk salib, keunikannya lain dari makam, adalah tangga yang berada di luar ( biasanya ada di dalam ) ada dua di kiri – kanan pintu masuk lantai bawah. Atap terdiri dari kubah yang ceruknya tidak dalam berdiameter 10 : 70 M.



Makam Galla Placida, Ravenna ( 425 ), adalalh salah satu dari tidak banyak makam yang denahnya bukan lingkaran, melainkan berbetuk salib, kepala dan tengah – tengah yang membentuk ruang segi empat, terdapat makam. Pintu masuk pada bagian kaki salib ( terpanjang ) di utara – timur, atapnya pelana seperti pada kedua lengan dan kepala, namun dindingnya lebih tinggi. Ruang tengah yaitu bagian persilangan anatar lengan, kaki dn kepala, denahnya bujur sangkar, dikelilingi oleh empat buah pelengkung.


Bagian dalam dari ruang tengah tersebut dindingnya tinggi, beratap kubah, namun di luar ditutup oleh atap pyramidal. Karena denahnya bujur sangkar maka bentuk kubah tidak penuh berbentuk bagian dari bola, namun pada bagian setiap sisi terpotong bidang vertical dari dindingnya.



Semua dinding terbuat dari konstruksi bata, pada sisi – sisi luar dihias dengan pelengkung mati. Hiasan di luar tidak terlalu banyak hanya berupa molding dan semacam cornice, membentuk garis – garis besar horizontal dan miring mengikuti kemiringan atap. Pada dinding tengah ynag tinggi, masing – masing terdapat sebuah jendela atas. Pada ruang dlam terdapat cukup banyak hiasan, anatar lain dekorasi pada pelengkung, termasuk lukisan dinding.




Babtistery adalah bagian dari sebuah gereja atau kapel, dapat juga berupa bangunan khusus untuk upacara pembabtisan adalah Babtistery Constantine di Roma ( 432 – 40 ) di bangun di dekat gereja Lateran. Yang membangun adalah Sixtus III. Nama Constantine dipakai karena kepadanya pembabtisan ini diberikan untuk penghormatan. Babtistery Constantine adalah salah satu tertua lainnya di Italy, sehingga kemungkinan besar menjadi model banyak ditiru di di tempat lain.
Denah bagian utama hexagonal, terdiri dari lingkaran dalam, dikelilingi oleh lingkaran luar dari sebuah ambulatory. Jarak anatar dau dinding pada sisi berhadapan 19.20 M. Kedua lingkaran satu di dalam, lainnya di luar terbentuk oleh delapan buah kolom pada setiap titik sudut segi delapan dalam dan dinding. Lantai dari lingkaran dalam tutrun tigs trap dari lantai lingkaran luar. Kolom terbuat drai marmer menumpu entablature berbeentuk cincin, di atsnya lagi ada kolom bentuknya sama dengan yang di bawah, namun kebih kecil. Masing – masing kolom atas posisinya sama dengan yang di bawah, juga menumpu entablature berbentuk cincin, di atsnya lagi pada setiap sisi ada dinding. Pada setiap dinding bagian atas tersebut, terdapat jendela atas bentuknya lingkaran atau disebut mata sapi ( oculus / bull’s – aye ). Bagaian dalam atau semacam plafond dari atap lingkaran dalam berbentuk ceruk kubah. Bentuk kubah bukan bagian dari bola, namun paath – patah sebanyak delapan buah sejumlah dindinding dari denah hexagonal. Atapnya piramida tumpul ditutup genting.
Babtistery lebih banyk berdenah lingkaran atau segi banyk, mungkin karena bentuk – bentuk semacam itu memounyai titik focus, yaitu di tengah seperti pada banyak makam. Tempat pembabtisan di tengah pada bagian titik focus tersebut, dapat dirasakan lebih khidmat.




Sebuah babtistery di Nocera ( sebuah kota beberapa ratus kilometer di selatan timur ( Roma ) denahnya juga lingkaran didirikan sekitar abad empat.
Titik focus berada di tengah dari lingkaran dalam, terbentuk oleh delapan kolom berdiri pada setiap titik sudut dari segi delapan yang jarak sisi berhadapan 6.10 M.
Lingkaran dalam ini dikelilingi lagi oleh dua lapis lingkaran. Lantainya turun tiga trap, mempunayi atap yang lebih banyak berfungsi sebagai hiasan. Lingkaran luar pertama diameternya 11.60 M pada sekelilingnya terdapat 15 kolom kembar berjejer ke arah titik pusat lingkaran ( konsentrik ). Kelima belas kolom tersebut menyangga kubah yang tumpuannya berupa pelengkung – pelengkung. Lingkaran lapis luar berupa ambulatory terbentuk oleh kolom – kolom tersebut dengan dinding yang denahnya lingkaran penuh. Plafond dari ambulatory lengkung – lengkung jga kosentrik. Meskipun bagian atas di ruang dalam bagian tengah bentuknya kubah dan pelengkung disekelilingnya, namu atapnya berbentuk kerucut. Atap sekelilingnya satu sisi miring. Pada dinding diantar atap tengah dan kelilingnya ada sdelpan jendela atap.

Aneka Dekorasi Gereja pada jaman Kristen Awal
Dalam arsitektur Yunanai, dekorai hanya dibuat pada bagian – bagian etrtentu dengan relief, ukiran, dan lain – lain, tidak sebanyak ornament pada jaman Romawi ( jaman kelanjutan yunani ). Pada arsitektur Kristen Awal yang merupakan perkembangn dari gaya Romawi, dekorasi lebih banyak dari sebelumnya, antara lain mosaic dan lukisan dinding.



Pengaruh Yunani, pada arsitektur Romawi dan Kristen Awal masih terkihat jelas pada Order yaitu konstruksi terdiri dari kolom dan balok yang dihias ( entablature ). Yang paling banyak diantarnya ialah Order Korientien, yang cirri khasnya pada hiasan floral pada kepalanya ( capita . Hiasan geometric juga mulai dikembangkan apda jaman Kristen Awal, antara lain lantai, dinding, ukiran, pada ointu dan jendela. Beberapa contoh dekorasi pda jaman Kristen Awla terlihat berikut.

Selasa, 30 Maret 2010

HUBUNGAN RUANG

RUANG DALAM RUANG

Sebuah ruang yang luas dapat melingkupi dan membuat sebuah ruang yg lain yang lebih kecil didalamnya.



ruang yang lebih besar berfungsi sebagaisuatu kawasan tiga dimensi untuk ruang didalamnya.

RUANG-RUANG YANG SALING BERAITAN



hasil konfigurasi kedua ruang yang saling berkaitan akan tergantung kepada beberapa penapsiran



bagian yang saling berkait dari dua buah ruang dapat digunakan bersama secara seimbang dan merata oleh masing-masing ruang



bagian yanga saling bertkaitan dapat mengembangkan intergritasnya sebagai ruang yang berfungsi penghubung bagai kedua ruang aslinya.

BIDANG DASAR

Bidang Dasar



Sebuah bidang datar horizontal yang terletak sebagai suatu figur di atas latar belakang yang kontras membentuk suatu daerah ruang sederhana. Daerah ini dapat diperkuat secara visual dengan cara-cara berikut.

Agar bidang datar horizontal dapat dilihat sebagai suatu figur, maka harus ada perbedaan yang menyolok dalam hal warna, gelap terang, atau tekstur antara bidang datar tersebut dengan sekelilingnya.




Penegasan permukaan tanah atau lantai sering digunakan dalam arsitektur untuk menetapkan daerah ruang yang berada di dalam ruang yang lebih besar.

Bidang Dasar Dinaikkan




Bidang datar horizontal yang diangkat atau dinaikkan dari permukaan tanah akan menimbulkan permukaan vertikal sepanjang sisi-sisinya yang memperkuat pemisahan visual daerah tersebut dari dasar di sekitarnya



• Sisi bidang-bidang ditetapkan dengan baik.
• Kesinanbungan ruang dan visual dipertahankan.
• Pencapaian secara fisik mudah dilakukan.




•Kontinuitas visual dipertahakan.
• Kesinambungan ruang terputus.
• Pencapaian secara fisik menuntut penggunaan tangga atau ramp (landaian).





•Kesinambungan visual maupun ruang diputuskan
• Daerah bidang yang ditinggikan tersolir dari bidang tanah atau bidang lantai
• Bidang yang ditinggikan diubah menjadi unsur pelindung atap dari ruang di awahnya.




Bidang Dasar Diturunkan




Sebuah bidang datar horizontal yang diturunkan ke bawah permukaan tanah, menggunakan permukaan-permukaan vertikal pada daerah yang direndahkan untuk membenAtuk suatu volume ruang.





DAFTAR PUSAKA

FRANCIS D.K CHING "ARSITEKTUR:BENTUK,RUANG&SUSUNANYA"

Sabtu, 20 Februari 2010

DEFINISI ARSITEKTONIK

Sebelum mengartikan definisi arsitektonik, terlebih dahulu lebih baik mengarti arti dari definisi itu sendiri. Definisi adalah secara singkat istilah-istilah teknis terpenting yang digunakan di Filsafat Mawas. Istilah-istilah yang berlawanan diberikan dalam tanda kurung di akhir definisi yang relevan.

Sedangkan definisi dari arsitektonik (architectonic) adalah struktur logis yang diberikan oleh akal (terutama melalui pemanfaatan pembagian berlipat-dua dan berlipat tiga), yang harus digunakan oleh filsafat sebagai rencana untuk mengorganisasikan isi sistem apa pun. Secara logis logika (logic) telaah sistematis terhadap struktur yang memungkinkan kata-kata untuk dipahami. Pertanyaan utama logika adalah “Apa yang memberi makna kepada kata dan proposisi?”. Obyek yang dipandang secara transendental lepas dari semua kondisi yang memungkinkan subyek bisa memperoleh pengetahuan tentangnya. Menurut definisi ini, benda di dalam lubuknya tidak bisa diketahui. Kadang-kadang dipakai dalam arti luas sebagai sinonim bagi nomena. (bandingkan penampakan).

Architectonic arsitektonik, hal yang berhubungan , selaras atau menyesuaikan dengan kaidah arsitektural atau terkait dengan, arsitektur atau memiliki karakteristik kualitas arsitektur. Ini adalah pertunjukan tentang arsitektur, tanpa arsitektur, melainkan adalah tentang ruang dan bagaimana ruang konsep seniman. Dalam pameran ini, seniman mengeksplorasi isu-isu sentral dalam praktik arsitektur seperti bentuk, massa, volume, cahaya dan bayangan, vs interior eksterior, publik vs swasta, situs-kekhususan, dan membuat ruang aktif. Bagaimana jika pertanyaan-pertanyaan itu dijawab oleh patung, instalasi, gambar, lukisan, dan video? Dibebaskan dari keterbatasan utilitas dan fungsionalitas, bagaimana seseorang menciptakan alternatif jawaban untuk menyelidiki ruang? Seniman membangun tumpukan, menciptakan ruang-ruang tersembunyi, cast bentuk biomorphic baru, menangguhkan benda dari langit-langit atau dari dinding, bermain dengan bayangan, menanggapi kondisi tertentu, denyut nadi lampu, suara, dan bau ke udara, dan dokumen yang ditemukan fenomena mikro-kosmos. Kedua seniman dan arsitek menciptakan pengalaman spasial temporal untuk penampil.
arsitektonik adlh suatu karya (entah itu karya sastra, sistem filsafat, atau karya ilmiah) dan dengan menyisihkan acuan (Standard Model). biografis dan psikologis. Berkaitan dengan atau sesuai dengan prinsip-prinsiparsitektur.
Memiliki kualitas arsitektur dalam hal struktur dan konsep. gagasan bahwa struktural dan pertimbangan estetika harus tunduk pada fungsi sepenuhnya disambut dengan baik popularitas dan skeptis, itu efek memperkenalkan konsep "fungsi" di tempat Vitruvius "utilitas".". "Function" came to be seen as encompassing all criteria of the use, perception and enjoyment of a building, not only practical but also aesthetic, psychological and cultural. "Fungsi" datang untuk dilihat sebagai meliputi semua kriteria penggunaan, persepsi dan kenikmatan dari sebuah bangunan, tidak hanya praktis, tetapi juga estetika, psikologis dan budaya.


Filosopi arsitektonik
Salah satu pertanyaannya yang paling mendasar adalah: “Bagaimana kita sampai mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak kita ketahui?” Sejak zaman Descartes, kebanyakan filsuf memandang bahwa epistemologi seseorang menentukan metafisika orang tersebut, bukan sebaliknya.
Istilah yang terkait dengan Kant, yang melambangkan struktur atau arsitektur sistematis pengetahuan kita. Semua pengetahuan kita kemungkinan milik sistem, dan tujuan filsafat adalah untuk mendapatkan sifat sistem, termasuk tempat di dalamnya yang diduduki oleh refleksi filosofis itu sendiri.Kant menciptakan sistem arsitektonis di mana ada fase perkembangan dari yang paling formal yang paling empiris. "Kant mengembangkan sistem alam ragawi dengan cara sebagai berikut. Dia mulai di Kritik dengan tindakan yang paling formal manusia kognisi, yang disebut oleh-Nya kesatuan transendental Apperception, dan berbagai aspek, yang disebut fungsi logis penghakiman. Dia kemudian melanjutkan dengan kategori yang murni pemahaman, dan kemudian ke schematized kategori, dan akhirnya kepada prinsip-prinsip transendental alam dalam umum. "Ini adalah dalam sistem ini bahwa skema transendental melayani tujuan penting.

Arsitektonik dalam bentuk adjektif
1. (Fine Arts & Seni Rupa / Arsitektur) menunjukkan, yang berkaitan dengan, atau memiliki kualitas arsitektur
2. (Filsafat) Metafisika dari atau berkaitan dengan klasifikasi sistematis pengetahuan
3.Dari atau berkaitan dengan arsitektur atau desain.
4. Memiliki kualitas, seperti desain dan struktur, yang merupakan ciri khas arsitektur: sebuah karya seni arsitektonis membentuk keseluruhan.
5. Filsafat. Dari atau berhubungan dengan sistematisasi ilmiah knowledge
filsafat/filosofis (philosophy/philosophical): istilah Yunani untuk cinta kealiman. Ini merupakan hasil dari pemahaman* manusia yang mengandung empat aspek utama: metafisika, logika, ilmu, dan ontologi. Salah satu ciri khas filsafat adalah mendefinisikan sendiri: inilah satu-satunya disiplin yang di dalamnya pertanyaan “Apakah disiplin ini?” merupakan bagian dari disiplin ini sendiri. harapan menyusun filsafat yang ilmiah tulen. Dinyatakan bahwa proposisi harus diterima sebagai benar hanya jika kebenarannya bisa ditunjukkan melalui pengacuan pada suatu keadaan atau situasi empiris.
wawasan (insight): “buah” pohon filsafat; suatu pikiran kreasi baru yang datang pada seseorang secara mendadak dan sering tak terduga, yang memberi pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu persoalan atau jalan untuk menjawab pertanyaan yang sebelumnya tak terjawab. Wawasan sering menyediakan perspektif baru yang memungkinkan kita untuk menerobos cara pikir tradisional lama. Untuk memastikan bahwa wawasan itu lebih dari sekadar opini, wawasan itu harus menjalani analisis yang seksama.
yang-ada (being-itself): istilah yang digunakan oleh Tillich dan para eksistensialis lain untuk mengacu pada realitas* terdalam tempat bertahannya benda-benda yang eksis; mengacu pada “Latar Yang-Ada” atau “Tuhan”. Arsitektur.
Ruang dan bentuk arsitektur selalu adalah segubah rancangan pada awal pembentukannya. Artifak secara terus menerus disempurnakan baik oleh pengguna, kekuatan politis dan ekonomis serta media yang berkembang pada masanya dan dewasa ini kian cepat. Percepatan perkembangan dimungkinkan setelah melintas berbagai periode kesejarahan, yang juga mengalami pergeseran makna serta peralihan fungsi.

PEMAHAMAN ARSITEKTONIK SEIRING PERKEMBANGAN JAMAN
Arsitektur pada dasarnya adalah merupakan produk jaman. Oleh sebab itu setiap studi tentang arsitektur sebenarnya terkait erat dengan segala upaya penafsiran/pemahaman terhadap makna obyek atau tanda-tanda yang membentuk arsitektur tersebut terhadap jamannya. Pembacaan wujud arsitektur sebagai teks harus juga dipahami dalam konteksnya sebagai perwujudan dari jamannya. dan akan memiliki perbedaan yang jelas, seperti bagaimana wujud arsitektur di suatu era mengalami perubahan yang memang terasa, bukan hanya dari sisi visual tapi juga makna yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, dengan melihat teks dan konteks kondisi perwujudan arsitektur sangat dipengaruhi sekali oleh jaman, seperti:
o Pengaruh faktor-faktor non-fisik, selain faktor-faktor fisik didalam penciptaan arsitektur yang setiap jamannya berbeda-beda satu sama lain.
o Terbentuknya arsitektur yang bermakna (meaningful life), yang terkait dengan warisan jaman.
o Wujud arsitektur tidak bermakna tunggal, sehingga keunikan jaman tetap dapat terlihat.
o Keberadaan arsitektur yang memiliki unsur-unsur metaforis, simbolik maupun unsur mistik di dalam suatu jaman yang melatarbelakangi terbentuknya wujud arsitektur.
Dapat disimpulkan bahwa perwujudan arsitektur yang dihasilkan dalam rentang jaman akan selalu memiliki karakteristik yang khas walaupun saling mempengaruhi satu sama lain. Kondisi ini dibuktikan oleh adanya proses kritik ketika pada suatu jaman mengalami sebuah kebosanan yang akut dan mengharuskan terjadinya proses kritik. Hal ini pernah diulas dalam jurnal L’Esprit Nouveau oleh Le Corbusier dan Ozenfant bahwa untuk memunculkan bentuk baru kita harus dapat melihat sisi lemah dari bentuk lama lalu memperbaikinya.
Berawal ketika umat manusia berjalan dengan langkah terbata-bata menelusuri sebuah dasar ketidaktahuan akan alam semesta, lalu mencoba membaca alam semesta dengan berbagai metode. Berpikir tentang alam semesta lalu menyimpulkan alam semesta (induksi), dan melihat fenomena alam semesta lalu berpikir dan meyimpulkannya (deduksi). Maurice Marleu Ponty menyebutnya sebagai fenomenologi tubuh, yaitu membuat manusia bersituasi, tertanam, dan menyejarah sebagai langkah di dalam rentang waktu yang melahirkan sejarah (the birth of history).
Tahun 500 SM di Yunani diklaim sebagai masa munculnya (raison d ‘etre) tradisi arsitektur. Secara etimologi, kata arsitektur atau arche-tekton lahir dari tradisi Yunani. Dalam ranah metode berpikir Yunani terdapat pola pencampuran antara mitologi, mistisisme, dan matematika yang terangkum dalam ilmu filsafat Yunani. Dari dasar itulah terbentuk wujud arsitektur Yunani seperti arsitektur kuil tempat pemujaan terhadap dewa (kuil Parthenon), sistem proporsi matematis Golden Section yang lahir dari konsep Pythagoras serta kolom -kolom Doric, Ionic, Corinthian sebagai sistem simbol feodalisme Yunani.
Vitruvius berhasil mengalihkan perhatian dunia dan menembus batas jaman dengan menyusun naskah arsitektur pertama berjudul The Ten Books of Architecture. Sebagai bangsa Romawi Vitruvius berjalan tegap dengan angkuh melirik warisan tradisi bangsa Yunani sebagai bangsa jajahannya dan mencoba untuk mengambil keuntungan darinya, dalam rangka memperbaiki selera estetis bangsa Romawi yang pada saat itu hanya mengetahui cara berperang untuk memperluas kekuasaannya (will to power).
Seiring dengan berjalannya waktu, Vitruvius mencoba memodifikasi dengan menambahkan sentuhan pada khasanah arsitektur Yunani dengan harapan bangsa Romawi memiliki ciri khasnya sendiri. Vitruvius berkontribusi besar terhadap kemajuan arsitektur Romawi yang mengambil dasar dari arsitektur Yunani. Selain menghunuskan pedangnya, bangsa Romawi juga memperkenalkan arsitekturnya kepada bangsa-bangsa diseluruh daratan Eropa. Dapat disebutkan bahwa kedua era itu ialah era arsitektur Klasik.
Setelah bangsa-bangsa Eropa terlepas dari kekuasan bangsa Roma, timbul kegelisahan yang sangat mendasar yaitu hilangnya orientasi akan wujud arsitektur. Bahkan era ini disebut era kegelapan bagi bangsa-bangsa di Eropa karena keluar dari kerangka berpikir Yunani sebagai raison d‘etre kemajuan arsitektur. Mulai berkembang tradisi-tradisi arsitektur yang bernuansa keagamaan yaitu arsitektur Romanesque dan arsitektur Gothic sekitar pada abad ke-13, yang mewujudkan arsitektur pada skala Tuhan dengan harapan mendekatkan manusia dengan Tuhan. Di era ini sistem nalar rasional dibungkam sehingga sisi kreativitas dibatasi yang mengakibatkan kemajuan terhambat di segala lini kehidupan termasuk arsitektur.
Di dalam carut marutnya realitas yang sudah tidak bisa lagi mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang diawali oleh terjadinya Revolusi Perancis pada abad ke-15, bangsa Eropa mulai kembali pada romantisme era klasik yang sarat dengan konteks nalar rasional. Era ini disebut era Renaissance (pencerahan) dan meninggalkan era arsitektur yang bernuasakan agama. Ditandai dengan diktum Cogito Ergo Sum- nya Rene Descartes (ketika aku berpikir maka aku ada), arsitektur dikembalikan lagi pada skala manusia (antroposentris) dan era itu kemudian disebut sebagai era arsitektur Renaissance.
Perkembangan budaya dan teknologi terjadi sangat pesat di era ini,ditandai oleh terjadinya revolusi industri di Inggris sekitar pada abad ke-19. Perkembangan ini juga mempengaruhi arsitektur yaitu dengan munculnya era arsitektur modern. Seperti judul novel Charles Dickens, “A Tale of Two Cities” yang menggambarkan sebuah situasi perkotaan di mana terdapat ketidakadilan dan kekumuhan di tengah kemewahan kota. Situasi ini segera menyadarkan bahwa perumahan buruh perlu segera diproduksi besar-besaran di Eropa. Revolusi industri menunjang kebutuhan ini akibat dari penemuan berbagai teknologi bahan dan teknologi konstruksi untuk kepentingan produksi massal. Juga penemuan mekanika modern elevator sehingga bangunan bisa dipanjangkan ke atas mencakar langit. Selain arah selera estetika ditujukan pada kelas sosial ke bawah, teknologi juga dihayati efek bentuknya, sedangkan rasionalisme arsitektonik mulai pula dijelajahi. Ornamen mulai dipercayai oleh Adolf Loos sebagai wujud kejahatan arsitektural (ornament is a crime) karena tempelan dari ukiran dianggap sebagai kebenaran yang palsu. Maka konsep modernisme memang semakin mengkristal ke arah rasionalisme dan fungsionalisme yang digali dari era pencerahan (Aufklarung).
Fungsionalisme menjadi tujuan akhir dari era ini. Filosofis “bentuk mengikuti fungsi” yang dicetuskan oleh Louis Sullivan di Chicago menjadi doktrin yang sangat disukai. Pernyataan “less is more” oleh Mies van der Rohe.menjadi sebuah manifesto yang sangat pas dengan logika industri bangunan, bahwa estetika arsitektur harus berdasarkan prinsip itu.
Dari tradisi modern kemudian lahir sebuah pemahaman yang mencari otentisitas dari arah manifesto arsitektur modern yaitu gerakan avant garde. Di era ini arsitektur modern, arsitektur tradisional, dan klasik adalah representasi dan simbol dari penindasan yang dilakukan baik oleh feodalisme maupun totalitarianisme arsitokrasi. Dalam era arsitektur avant garde, seluruh tuntutan fungsionalisme modern secara teknis harus dapat dirumuskan terlebih dahulu ke dalam program arsitektur baru. Program menyimpan aksi-aksi dan rasionalitas ini yang kemudian membimbing lahirnya tipe-tipe rancangan arsitektur baru yang menurut Pevsner “jika sejarawan arsitektur meremehkan gaya, ia mandeg sebagai sejarawan”.
Pada tahun 1980, Paulo Portoghesi, Charles Jencks dan kawan-kawan berhasil mengorganisir biennale arsitektur dengan tema”kekinian masa lalu” di sebuah arsenal tua di Venezia. Disusul oleh pameran keliling “revisi atas yang modern : arsitektur postmodern 1960-1985” yang diselenggarakan oleh Heinrich Klotz. Kedua pertunjukan itu menunjukkan terjadinya perubahan besar dalam arsitektur selama dua dekade terakhir. Di sana terlihat hilangnya formalisme kesederhanaan yang universal-internasional ini. Bentuk yang muncul dalam era ini selain terpecah-pecah juga sering tak beraturan,diisi oleh rincian dekoratif dan ornamental yang terasa alusif (merupakan referensi tak langsung). Tradisi telah disambung kembali walaupun tak persis sama.
Robert Venturi di dalam bukunya yang berjudul Complexity and Contradiction in Architecture mencela arsitektur modern yang baik dalam praktek maupun akademis didominasi oleh Meisianisme: “less is more”. Venturi mengkritisi Mies sebagai ”penyederhana besar” dan mengubah doktrinnya dari “less is more” menjadi “less is bore”. Venturi berkeyakinan bahwa arsitektur postmodern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsi ( ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang monovokal).





ARCHITECTONIC

This leads us to the final of these three tools of vivisection, the “architectonic” approach to a work’s structure. By “architectonic” I do not mean the reductio ad absurdum of academic theory in which the standard forms of the classical period are parsed into their functionally related harmonic areas, divided into thematic and transitional sections, and finally fitted to the procrustean bed of one or another simplified label. This is, so to speak, a linguistic feature of common practice tonality, rather than a structural feature of an individual work; insofar as it is treated as a universally applicable mold, it is of dubious value even in the study of the works for which it was designed, much less in the study of pre-tonal music. Rather I mean the term to be understood in the broader and more useful sense: to describe not the unconscious linguistic factors of common practice music, but the very concrete, conscious structural device of setting up within a given work a unique and fundamental architectonic conflict. This conflict tends, in its nature, to be extralinguistic; its power derives from its intrusion upon the natural fabric of the language, the manner in which it lies outside, and hence disturbs and modifies, the natural flow of the musical dialect. Witness, in this respect, the Neapolitan tonal areas in middle Beethoven, or the mediant and submediant tonal areas in Brahms. In a work such as, say, the Appassionata sonata, the theme is introduced in the Neapolitan immediately following its initial tonic statement. This creates a parity of sorts between the two harmonic areas and sets the stage for their elemental conflict, a kind of dialectical process in which the Neapolitan serves as a foreign irritant, an alien harmonic area whose progressive growth alongside, clash with, and ultimate assuagement and integration into the home key form the backbone, both intellectual and visceral, of the work’s drama.
This pattern also applies, in dramatically expanded form, in Wagner. Vitally, as a way of thinking, it persists even in much music that has ceased to be tonal; early, freely atonal Schoenberg often treats motive and rhythm in terms of the same underlying dialectic of elemental conflict—see, for example, the first of the Five Orchestral Pieces, in which a single three-note motive is juxtaposed in incompatible rhythmic patterns, which clash with and conquer each other in the same manner as the halves of a Beethovenian harmonic duality. Understood in this sense, the architectonic conflict can be seen as the essential underlying schema of music after the Baroque. The predominant way to understand what the composer is doing, at a psychological level, is to understand this systematization of irregularity.
I believe that this will be in a sense the most fruitful tool for understanding Josquin’s music—precisely by virtue of its total absence. In the Missa L’Homme Armé we will find nowhere such a use of structural dissonance. Such dissonances as occur are largely a product of contrapuntal motion; harmonic areas never stray so far away as to come into fundamental conflict with the tonic. The modality of the work is, in a sense, neutral; Dorian is favored, and movements and sections may stray to different finals with little sense of a friction with the surrounding structure. Rather, each modal digression is a different “view” of sorts, a vision of the modal material from a slightly altered perspective.
In other words, I am trying first to understand this music by what it is not; and it is not the Beethovenian archetype of music, in form or in meaning. This may seem to be stating the obvious, but in fact it is quite the opposite; for the most part, this archetype has become so large in our vision of art music that we are no longer even capable of seeing it. Rather than remaking Josquin in Beethoven’s image, or in Bach’s, as an analytical method derived from the study of their archetypes would encourage, the best way to approach this music is as an archetype of its own, conspicuously alien to the post-Beethovenian tradition, and, for that matter, to the modern mind.
It is in fact possible to rigourously argue the nature of this archetype, if we accept as possible a couple of postulates. The first and most crucial of these is that great art tends toward a unity of style and substance—in other words, that the philosophical or visceral “essence” of a work tends to find some kind of objective mirror in the very nature of its structure. The intimate relationship between the architectonic duality and the Beethovenian rhetoric of suffering is a case in point. The second postulate is that there is at least an inkling of validity in the centuries-old notion, now fallen victim to the relativism of the present age, of some sort of emotional or even biological relation between dissonance and pain.


ARCHITEKTONIC REASONING

I would like to respond here to several common objections to the use of architectonic reasoning in philosophy, objections which might be looming large in the minds of many readers of Chapter III. First, in the light of the monumental developments in the field of logic in the past century, the assumption that the architectonic patterns we have been examining have anything to do with formal logic (even in its traditional sense) might seem to be nothing other than pedantic speculation, especi ally since I have made ample use of various geometrical figures which supposedly reflect the same patterns.
For anyone who is satisfied to interpret a philosopher without first adopting the presuppositions which were indispensable to that philosopher's way of thinking, this first objection would be decisive. But for anyone who thinks it is necessary to engross oneself in a philosopher's own presuppositions before regaining balance in order to form an accurate interpretation, my approach should seem less audacious. It is, after all, generally agreed that Kant believed all architectonic patterns to be based on the structure of formal logic. All I have done is to specify more explicitly than Kant himself ever did just what structure is exhibited by some of the simplest patterns implied by the most basic laws of formal logic. I have defended my use of models in sufficient detail in I.2-3; and the similarity of structure between such geometrical figures and various logical patterns is discussed in much greater detail in Pq18. On its own, of course, a figurative representation of a theory (or of any theoretical pattern) is of little value to the serious philosopher; but as an aid to clarifying and giving con ceptual unity to the nonfigurative theory which it represents, and to comparing the relationships between different theories, it can prove to be of great value indeed. One reason for going into such detail to establish and clarify the formal, architectonic patterns implied by Kant's Copernican Perspective is to make it easier for philosophers accustomed to thinking of logic entirely in propositional or analytic terms to put themselves in Kant's shoes before they attempt to interpret what he says.
Another objection is that formal (especially architectonic) systems are, in any case, illegitimate tools for philosophical inquiry, so any prolonged attention to their structure can only obscure the accuracy of one's interpretation. I have already replied to this objection in general terms in I.1 and at several points in Chapter III, so I shall limit my rebuttal at this point to three specific criticisms.
Wolff thinks that Kant must regard it as 'merely a happy accident' that the many artificial divisions which constitute 'the distortions of the architectonic' turn out to follow a common form [W21:209]. 'The whole business', he chides, 'smacks of that pre-established harmony which Kant elsewhere rejects as the very denial of philosophical explanation.' But to accuse Kant of inconsistency because he proposes and defends a theory of the architectonic unity of reason and yet rejects the rationalist doctrine of pre-established harmony is grossly unfair. The latter doctrine is a denial of philosophical explanation because it is a mere assumption, used specifically to fill in the gaps which the philosopher would otherwise be unable to account for. Kant rejects it because it presupposes the uncritical Perspective of transcendental realism [Kt1:331,A391]. Kant's Copernican Perspective, by contrast, is not an excuse for covering up philosophical ignorance. On the contrary, the architectonic plan it assumes from the outset is intended to help philosophers determine the proper philosophical answers to their various problems by providing a pattern according to which they can structure their ideas in the face of their ignorance of ultimate reality. Moreover, the plan is no arbitrary invention: it derives its validity from the simplest laws of formal logic; and it derives its explanatory power from the Copernican Perspective which, as we noted in III.1, interpreters of Kant generally agree was his fundamental assumption (viz., that the subject imposes a certain formal structure on all the objects it comes to know).
Unfortunately, Kant was unable to fulfill the important task of explicitly stating the precise logical basis of the patterns exhibited by reason's architectonic structure and used to organize his System of Perspectives. In Chapter III I have attempted to bring to light these formal patterns, which remain hidden in Kant's own exposition, by spelling out just what his architectonic plan entails. In the synthetic process of coming to understand this analytic structure, my own way of explaining the architectonic has undergone numerous changes, as can be seen, for example, by comparing Chapter III with Pq4. Although I do not anticipate any need for further changes in my account of Kant's architectonic, some further improvements may well present themselves in the future, without jeopardizing the validity of the overall approach I have adopted.
Kant himself experienced a very similar (and quite natural) process of gradually discovering how best to organize his System. The meticulous excavations of the 'patchwork' interpreters have brought to light the fact that Kant made innumerable changes in his conception of both the form and the content of his architectonic, especially during his 'silent decade' (roughly 1770-1780). On the basis of this discovery, it has become quite common to appeal to Kant's own indecision as evidence of the fraudulence of his claims to have discovered reason's 'fixed' form. Paulsen, for example, while admitting that 'Kant is inclined to see in this arduous labor the chief significance of his work' [P4:132-3], regards the entire architectonic as superfluous for two reasons [130; s.a. 170-1]. The first is that a thorough study of Kant's notes reveals that he worked out his architectonic plan only after arriving at all the essential doctrines of his Critical philosophy. And the second is that these notes also reveal Kant's uncertainty as to the details of his architectonic, thus proving 'how accidental, arbitrary, and variable the structure of the system really is, although it is apparently so fixed' [130n].
This common means of disposing of Kant's architectonic is invalid for the following reasons. Paulsen's first criticism actually carries no weight, since Kant never intended to use the architectonic to defend any of his other essential theories. It is only natural that an overall plan should come to light after the discovery of the elements that require ordering. Indeed, how could anyone be expected to discover the best way of organizing a set of ideas beforeknowing their content? As for the second and more common complaint, this too rests on a totally unreasonable expectation. The discovery of any complex truth, not excepting the logical structure of reason's architectonic form, can hardly be expected to fall from the sky in toto! On the contrary, the long process of struggling to understand such an idea (which seems to have been the primary reason for Kant's long delay in writing Kt1) should be taken as evidence of its true significance. The many variations explored in Kant's notes reveal nothing whatsoever about the existence or non-existence of a fixed rational form, but only that his own struggle to understand that form was long and arduous. Kant's mistake, then, was not to proclaim that such a fixed form is there to be discovered, but rather, to pretend he had fully revealed its ultimate structure.
Finally, Ryle argues in a more general way that 'the suggestion that [the philosopher's] problems, his results, or his procedures should or could be formalized is ... wildly astray' [R14:124]; he says it would be like a general asking his troops to rehearse their training exercises in the middle of a battle on the front line. For 'the hope that philosophical problems can be, by some stereotyped operations, reduced to standard problems in Formal Logic is a baseless dream' [126]. The latter point is certainly true: it would be a grave mistake to think philosophical problems-including the problems of interpreting another philosopher-can be reduced to problems in formal logic. My purpose in Chapter III, how ever, has not been to reduce Kant's System to a twelvefold logical pat tern, but rather to elucidate those patterns (i.e., to perfect the training exercises) which guided Kant as he constructed his arguments (i.e., his wartime tactics). The legitimacy of such a task is implied by a more recent logician, who maintains that 'if the truth-value of a sentence in a situation is determined in a describable way by the intensions [i.e., relations] of its constituents [i.e., components], then a system of logic is there to be discovered' [H19:246]. Kant's logical system on its own means nothing until the content of his System of Perspectives is structured around it. But it is nevertheless just as important to clarify these patterns beforehand as it is to practise training exercises before the battle. Otherwise Kant's step-by-step account of the conditions imposed by the subject on the object is bound to appear to be nothing but a Critical 'sausage factory', as it has sometimes been called.
Replying to other objections at this point would not bring us any closer to a conclusive justification of the legitimacy of Chapter III's interpretation of the architectonic form of Kant's System. For its validity can ultimately be defended only by testing the compatibility of each system with the detailed textual content which can be put into it from Kant's own works. Fulfilling this task is the main purpose of Part Three







Pengaruh arsitektonik dengan arsitektur

Sydney Opera House

Sydney Opera House , Australia designed by Utzon . Sydney Opera House, Australia dirancang oleh Utzon.
Nunzia Rondanini stated, "Through its aesthetic dimension architecture goes beyond the functional aspects that it has in common with other human sciences. Through its own particular way of expressing values , architecture can stimulate and influence social life without presuming that, in and of itself, it will promote social development.' Nunzia Rondanini menyatakan, "Melalui dimensi estetika arsitektur melampaui aspek-aspek fungsional yang memiliki kesamaan dengan ilmu-ilmu manusia lainnya. Melalui cara tertentu sendiri mengungkapkan nilai-nilai, arsitektur dapat merangsang dan mempengaruhi kehidupan sosial tanpa menganggap bahwa, dalam dan dari dirinya sendiri, akan mempromosikan pembangunansosial. " To restrict the meaning of (architectural) formalism to art for art's sake is not only reactionary; it can also be a purposeless quest for perfection or originality which degrades form into a mere instrumentality". Untuk membatasi makna (arsitektur) formalisme seni demi seni tidak hanya reaksioner, tetapi juga bisa menjadi tujuan pencarian kesempurnaan atau orisinalitas yang membentuk degradasi menjadi sarana belaka ". Among the philosophies that have influenced modern architects and their approach to building design are rationalism , empiricism , structuralism , poststructuralism , and phenomenology . Di antara filsafat yang telah mempengaruhi arsitek modern dan pendekatan desain bangunan adalah rasionalisme, empirisisme, strukturalisme, pascastrukturalisme, dan fenomenologi.
In the late 20th century a new concept was added to those included in the compass of both structure and function, the consideration of sustainability . Pada akhir abad ke-20 konsep baru telah ditambahkan ke yang termasuk dalam kompas dari kedua struktur dan fungsi, pertimbangan keberlanjutan. To satisfy the contemporary ethos a building should be constructed in a manner which is environmentally friendly in terms of the production of its materials, its impact upon the natural and built environment of its surrounding area and the demands that it makes upon non-sustainable power sources for heating, cooling, water and waste management and lighting . Untuk memenuhi etos kontemporer bangunan harus dibangun dengan cara yang ramah lingkungan dalam hal produksi dari bahan-bahan, dampaknya pada alam dan membangun lingkungan sekitarnya dan tuntutan bahwa itu membuat tidak berkesinambungan atas sumber daya untuk pemanas, pendingin, air dan pengelolaan limbah dan pencahayaan.








Mendut

Chandi Mendut menghadap barat berlawanan dengan Chandi Borobudur yang berada di depan timur. Bangunan terakhir disebut stupa, bekas sebuah "chandi". Kata ini berasal dari "Chandika", salah satu nama dari Durga, Dewa kematian.
Menurut kebiasaan Budha sebuah "chandi" digunakan untuk upacara, sebagaimana yang digunakan Hindu untuk membangun sebuah "chandi" sebagai tempat suci untuk melindungi ukiran raja atau orang penting lainnya. Maka Chandi Mendut digunakan hanya untuk beribadah melayani (Dharma Dhatu. Hari Waisak dirayakan di Chandi Mendut, Chandi Borobudur dalam masa pemugaran sekarang). Stupa Borobudur adalah tempat permulaan untuk pendatang baru yang dinobatkan menjadi imam. Menurut Dr. J.G de Casparis, tulisan tentang prasasti Karangtengah (Temanggung) sejak tahun 824 Masehi, terungkaplah bahwa nama "Mendut" adalah berasal dari bahasa Sansekerta pada masa Venu (bambu), belukar Vana; Mandira (kuil), kedudukan untuk "sebuah kuil yang berada ditengah-tengah belukar bambu".
Chandi Mendut telah dibangun pada waktu yang sama seperti Borobudur, pada pertengahan kedua dari abad ke-8, banyak kemungkinan yang diambil oleh sailendra yaitu Raja Sri Maharaja Panangkaran.
Ketika memasuki depan pintu gerbang melalui tangga kami tiba di serambi, di belakang dinding yang dihiasi dengan ukiran, menggambarkan pohon Kaplavreksa (permata yang mempunyai hubungan dengan keinginan pohon) yang keduanya membagi dua, dimana permukaan dinding berada di sebelah utara (kiri) yang menggambarkan Dewa Hariti, dikelilingi oleh anak-anaknya (lambang dari kesuburan) dan pada permukaan dinding sebelah selatan kita bisa melihat Dewa Jambhala atau Kuwera (lambang dari kesehatan), yang juga berada di tengah-tengah keturunannya. Ukiran di atas kepala menunjukkan Dewa, dilihat dari atas.
Ketika memasuki pertengahan sel kita melihat patung Budha Sakyamuni, yang sedang duduk di atas singgasana (prabha) yang masing-masing di atas tangan sebelah kiri dan sebelah tangan terdapat patung Avalokite Iswara (arca kecil dari Amitaba di makotanya) dan Vajranity dalam kumpulan. Di bawah patung Budha Sakyamuni kami membedakan roda Chakra diantara dua rusa. Sikap tangan dari arca Budha adalah membentuk roda hukum penyebab dan pengaruh (Dharma Chakra Mudra). Budha Sakyamuni digambarkan menyebarkan ajaran Budha di taman rusa di kota Benares. Luar biasa, Budha tidak biasa berjalan kaki ketika mengadakan kunjungan, tetapi kedua kakinya menggantung (Pralambha - Padasana).
Tanda-tanda yang berbeda lainnya dari Budha Sakyamuni adalah rambut keriting dengan benjolan yang menonjol keluar, dan di tengah-tengah dahi terdapat simpul kecil, menggambarkan mata ketiga. Telinganya panjang dan matanya difukuskan di atas ujung hidung yang memiliki mimik wajah yang tenang. Di sekitar leher terdapat 3 (tiga) kalung yang dapat dilihat secara jelas. Ada juga cincin lambang kebahagiaan. Jubahnya digambarkan seperti dibuat dari kain tipis, dengan kata lain bahwa patung itu kelihatan seperti telanjang. Seyogyanya patung ini dibuat di bawah pengaruh kesenian Gandara. Di depan patung terdapat 6 (enam) relung yang kosong. Dengan kemungkinan seluruh relung ini adalah bekas digunakan untuk meletakkannya di dalam lilin untuk beribadah. Langit-langit dari sel memiliki susunan piramid. Hal terpenting tentang atap piramid adalah merupakan dasar dari setengah puncak yang menahan seluruh batu yang berbentuk atap.
Di sebelah luar dari badan kuil ("kematian") kita bisa menemukan arca Dewi Tara (Sakta atau roh Budha), diukir di permukaan dinding sebelah utara; Avalokite Iswara berada di permukaan dinding sebelah timur dan Manjusri di sisi satu lainnya yaitu sebelah selatan.
Di setiap susuran tangga dari tangga, menuntun ke kuil, pahatannya menggambarkan cerita dari Jatakas, yang juga dapat ditemukan di dalam hiasan kaki dari "kematian" (sesuai dengan bentuk tubuh hewan), umpamanya cerita tentang burung kepala dua, buaya yang bodoh dengan monyet, burung dan monyet dan lain-lain. Di soubassement, kita bisa menemukan hiasan yang kami kenal dengan permadani dan arca dari Bodhisattwa (Vidyadaras) menengadah ke atas dalam memuja Trinity (Budha - Dharma - Sanga) dalam sel.
Chandi Mendut telah mengalami perubahan menjadi seperti susunan architectonic . Semula kuil dibangun di terra cotta, kemudian, dilapisi dengan batu andesite dengan bentuk masih bersisa sejak itu.






































Sumber

www.hkbu.edu.hk/~ppp/pf/PKglos.htm

(Complete and Unabridged 6th Edition 2003. © William Collins Sons & Co. Ltd 1979, 1986 © HarperCollins Publishers 1991, 1994, 1998, 2000, 2003)
ms-my.facebook.com/event.php?eid=74527441378...1...1 – Malaysia
www.wordwebonline.com/en/ARCHITECTONIC

www.asiamaya.com/panduasia/indonesia/e-05jawa/ei-jaw14_b.htm

http://creative5uite.wordpress.com/art-nouveau/




REFERENSI

Sumarjo, J. (2006). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press.
Siswanto, A. (1994). Menyangkal Totalitas dan Fungsionalisme: Postmodernisme dalam Arsitektur dan Desain Kota. Postmodernisme di Sekitar Kita. Kalam, (1): 32.
Zacky, A. ( 1991). Architecture Francaise. Yogyakarta: Intermedia.
Solomon, R dan Higgins, K. (1996). Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya.
Stephen Palmquist (stevepq@hkbu.edu.hk)