Sabtu, 20 Februari 2010

DEFINISI ARSITEKTONIK

Sebelum mengartikan definisi arsitektonik, terlebih dahulu lebih baik mengarti arti dari definisi itu sendiri. Definisi adalah secara singkat istilah-istilah teknis terpenting yang digunakan di Filsafat Mawas. Istilah-istilah yang berlawanan diberikan dalam tanda kurung di akhir definisi yang relevan.

Sedangkan definisi dari arsitektonik (architectonic) adalah struktur logis yang diberikan oleh akal (terutama melalui pemanfaatan pembagian berlipat-dua dan berlipat tiga), yang harus digunakan oleh filsafat sebagai rencana untuk mengorganisasikan isi sistem apa pun. Secara logis logika (logic) telaah sistematis terhadap struktur yang memungkinkan kata-kata untuk dipahami. Pertanyaan utama logika adalah “Apa yang memberi makna kepada kata dan proposisi?”. Obyek yang dipandang secara transendental lepas dari semua kondisi yang memungkinkan subyek bisa memperoleh pengetahuan tentangnya. Menurut definisi ini, benda di dalam lubuknya tidak bisa diketahui. Kadang-kadang dipakai dalam arti luas sebagai sinonim bagi nomena. (bandingkan penampakan).

Architectonic arsitektonik, hal yang berhubungan , selaras atau menyesuaikan dengan kaidah arsitektural atau terkait dengan, arsitektur atau memiliki karakteristik kualitas arsitektur. Ini adalah pertunjukan tentang arsitektur, tanpa arsitektur, melainkan adalah tentang ruang dan bagaimana ruang konsep seniman. Dalam pameran ini, seniman mengeksplorasi isu-isu sentral dalam praktik arsitektur seperti bentuk, massa, volume, cahaya dan bayangan, vs interior eksterior, publik vs swasta, situs-kekhususan, dan membuat ruang aktif. Bagaimana jika pertanyaan-pertanyaan itu dijawab oleh patung, instalasi, gambar, lukisan, dan video? Dibebaskan dari keterbatasan utilitas dan fungsionalitas, bagaimana seseorang menciptakan alternatif jawaban untuk menyelidiki ruang? Seniman membangun tumpukan, menciptakan ruang-ruang tersembunyi, cast bentuk biomorphic baru, menangguhkan benda dari langit-langit atau dari dinding, bermain dengan bayangan, menanggapi kondisi tertentu, denyut nadi lampu, suara, dan bau ke udara, dan dokumen yang ditemukan fenomena mikro-kosmos. Kedua seniman dan arsitek menciptakan pengalaman spasial temporal untuk penampil.
arsitektonik adlh suatu karya (entah itu karya sastra, sistem filsafat, atau karya ilmiah) dan dengan menyisihkan acuan (Standard Model). biografis dan psikologis. Berkaitan dengan atau sesuai dengan prinsip-prinsiparsitektur.
Memiliki kualitas arsitektur dalam hal struktur dan konsep. gagasan bahwa struktural dan pertimbangan estetika harus tunduk pada fungsi sepenuhnya disambut dengan baik popularitas dan skeptis, itu efek memperkenalkan konsep "fungsi" di tempat Vitruvius "utilitas".". "Function" came to be seen as encompassing all criteria of the use, perception and enjoyment of a building, not only practical but also aesthetic, psychological and cultural. "Fungsi" datang untuk dilihat sebagai meliputi semua kriteria penggunaan, persepsi dan kenikmatan dari sebuah bangunan, tidak hanya praktis, tetapi juga estetika, psikologis dan budaya.


Filosopi arsitektonik
Salah satu pertanyaannya yang paling mendasar adalah: “Bagaimana kita sampai mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak kita ketahui?” Sejak zaman Descartes, kebanyakan filsuf memandang bahwa epistemologi seseorang menentukan metafisika orang tersebut, bukan sebaliknya.
Istilah yang terkait dengan Kant, yang melambangkan struktur atau arsitektur sistematis pengetahuan kita. Semua pengetahuan kita kemungkinan milik sistem, dan tujuan filsafat adalah untuk mendapatkan sifat sistem, termasuk tempat di dalamnya yang diduduki oleh refleksi filosofis itu sendiri.Kant menciptakan sistem arsitektonis di mana ada fase perkembangan dari yang paling formal yang paling empiris. "Kant mengembangkan sistem alam ragawi dengan cara sebagai berikut. Dia mulai di Kritik dengan tindakan yang paling formal manusia kognisi, yang disebut oleh-Nya kesatuan transendental Apperception, dan berbagai aspek, yang disebut fungsi logis penghakiman. Dia kemudian melanjutkan dengan kategori yang murni pemahaman, dan kemudian ke schematized kategori, dan akhirnya kepada prinsip-prinsip transendental alam dalam umum. "Ini adalah dalam sistem ini bahwa skema transendental melayani tujuan penting.

Arsitektonik dalam bentuk adjektif
1. (Fine Arts & Seni Rupa / Arsitektur) menunjukkan, yang berkaitan dengan, atau memiliki kualitas arsitektur
2. (Filsafat) Metafisika dari atau berkaitan dengan klasifikasi sistematis pengetahuan
3.Dari atau berkaitan dengan arsitektur atau desain.
4. Memiliki kualitas, seperti desain dan struktur, yang merupakan ciri khas arsitektur: sebuah karya seni arsitektonis membentuk keseluruhan.
5. Filsafat. Dari atau berhubungan dengan sistematisasi ilmiah knowledge
filsafat/filosofis (philosophy/philosophical): istilah Yunani untuk cinta kealiman. Ini merupakan hasil dari pemahaman* manusia yang mengandung empat aspek utama: metafisika, logika, ilmu, dan ontologi. Salah satu ciri khas filsafat adalah mendefinisikan sendiri: inilah satu-satunya disiplin yang di dalamnya pertanyaan “Apakah disiplin ini?” merupakan bagian dari disiplin ini sendiri. harapan menyusun filsafat yang ilmiah tulen. Dinyatakan bahwa proposisi harus diterima sebagai benar hanya jika kebenarannya bisa ditunjukkan melalui pengacuan pada suatu keadaan atau situasi empiris.
wawasan (insight): “buah” pohon filsafat; suatu pikiran kreasi baru yang datang pada seseorang secara mendadak dan sering tak terduga, yang memberi pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu persoalan atau jalan untuk menjawab pertanyaan yang sebelumnya tak terjawab. Wawasan sering menyediakan perspektif baru yang memungkinkan kita untuk menerobos cara pikir tradisional lama. Untuk memastikan bahwa wawasan itu lebih dari sekadar opini, wawasan itu harus menjalani analisis yang seksama.
yang-ada (being-itself): istilah yang digunakan oleh Tillich dan para eksistensialis lain untuk mengacu pada realitas* terdalam tempat bertahannya benda-benda yang eksis; mengacu pada “Latar Yang-Ada” atau “Tuhan”. Arsitektur.
Ruang dan bentuk arsitektur selalu adalah segubah rancangan pada awal pembentukannya. Artifak secara terus menerus disempurnakan baik oleh pengguna, kekuatan politis dan ekonomis serta media yang berkembang pada masanya dan dewasa ini kian cepat. Percepatan perkembangan dimungkinkan setelah melintas berbagai periode kesejarahan, yang juga mengalami pergeseran makna serta peralihan fungsi.

PEMAHAMAN ARSITEKTONIK SEIRING PERKEMBANGAN JAMAN
Arsitektur pada dasarnya adalah merupakan produk jaman. Oleh sebab itu setiap studi tentang arsitektur sebenarnya terkait erat dengan segala upaya penafsiran/pemahaman terhadap makna obyek atau tanda-tanda yang membentuk arsitektur tersebut terhadap jamannya. Pembacaan wujud arsitektur sebagai teks harus juga dipahami dalam konteksnya sebagai perwujudan dari jamannya. dan akan memiliki perbedaan yang jelas, seperti bagaimana wujud arsitektur di suatu era mengalami perubahan yang memang terasa, bukan hanya dari sisi visual tapi juga makna yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, dengan melihat teks dan konteks kondisi perwujudan arsitektur sangat dipengaruhi sekali oleh jaman, seperti:
o Pengaruh faktor-faktor non-fisik, selain faktor-faktor fisik didalam penciptaan arsitektur yang setiap jamannya berbeda-beda satu sama lain.
o Terbentuknya arsitektur yang bermakna (meaningful life), yang terkait dengan warisan jaman.
o Wujud arsitektur tidak bermakna tunggal, sehingga keunikan jaman tetap dapat terlihat.
o Keberadaan arsitektur yang memiliki unsur-unsur metaforis, simbolik maupun unsur mistik di dalam suatu jaman yang melatarbelakangi terbentuknya wujud arsitektur.
Dapat disimpulkan bahwa perwujudan arsitektur yang dihasilkan dalam rentang jaman akan selalu memiliki karakteristik yang khas walaupun saling mempengaruhi satu sama lain. Kondisi ini dibuktikan oleh adanya proses kritik ketika pada suatu jaman mengalami sebuah kebosanan yang akut dan mengharuskan terjadinya proses kritik. Hal ini pernah diulas dalam jurnal L’Esprit Nouveau oleh Le Corbusier dan Ozenfant bahwa untuk memunculkan bentuk baru kita harus dapat melihat sisi lemah dari bentuk lama lalu memperbaikinya.
Berawal ketika umat manusia berjalan dengan langkah terbata-bata menelusuri sebuah dasar ketidaktahuan akan alam semesta, lalu mencoba membaca alam semesta dengan berbagai metode. Berpikir tentang alam semesta lalu menyimpulkan alam semesta (induksi), dan melihat fenomena alam semesta lalu berpikir dan meyimpulkannya (deduksi). Maurice Marleu Ponty menyebutnya sebagai fenomenologi tubuh, yaitu membuat manusia bersituasi, tertanam, dan menyejarah sebagai langkah di dalam rentang waktu yang melahirkan sejarah (the birth of history).
Tahun 500 SM di Yunani diklaim sebagai masa munculnya (raison d ‘etre) tradisi arsitektur. Secara etimologi, kata arsitektur atau arche-tekton lahir dari tradisi Yunani. Dalam ranah metode berpikir Yunani terdapat pola pencampuran antara mitologi, mistisisme, dan matematika yang terangkum dalam ilmu filsafat Yunani. Dari dasar itulah terbentuk wujud arsitektur Yunani seperti arsitektur kuil tempat pemujaan terhadap dewa (kuil Parthenon), sistem proporsi matematis Golden Section yang lahir dari konsep Pythagoras serta kolom -kolom Doric, Ionic, Corinthian sebagai sistem simbol feodalisme Yunani.
Vitruvius berhasil mengalihkan perhatian dunia dan menembus batas jaman dengan menyusun naskah arsitektur pertama berjudul The Ten Books of Architecture. Sebagai bangsa Romawi Vitruvius berjalan tegap dengan angkuh melirik warisan tradisi bangsa Yunani sebagai bangsa jajahannya dan mencoba untuk mengambil keuntungan darinya, dalam rangka memperbaiki selera estetis bangsa Romawi yang pada saat itu hanya mengetahui cara berperang untuk memperluas kekuasaannya (will to power).
Seiring dengan berjalannya waktu, Vitruvius mencoba memodifikasi dengan menambahkan sentuhan pada khasanah arsitektur Yunani dengan harapan bangsa Romawi memiliki ciri khasnya sendiri. Vitruvius berkontribusi besar terhadap kemajuan arsitektur Romawi yang mengambil dasar dari arsitektur Yunani. Selain menghunuskan pedangnya, bangsa Romawi juga memperkenalkan arsitekturnya kepada bangsa-bangsa diseluruh daratan Eropa. Dapat disebutkan bahwa kedua era itu ialah era arsitektur Klasik.
Setelah bangsa-bangsa Eropa terlepas dari kekuasan bangsa Roma, timbul kegelisahan yang sangat mendasar yaitu hilangnya orientasi akan wujud arsitektur. Bahkan era ini disebut era kegelapan bagi bangsa-bangsa di Eropa karena keluar dari kerangka berpikir Yunani sebagai raison d‘etre kemajuan arsitektur. Mulai berkembang tradisi-tradisi arsitektur yang bernuansa keagamaan yaitu arsitektur Romanesque dan arsitektur Gothic sekitar pada abad ke-13, yang mewujudkan arsitektur pada skala Tuhan dengan harapan mendekatkan manusia dengan Tuhan. Di era ini sistem nalar rasional dibungkam sehingga sisi kreativitas dibatasi yang mengakibatkan kemajuan terhambat di segala lini kehidupan termasuk arsitektur.
Di dalam carut marutnya realitas yang sudah tidak bisa lagi mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang diawali oleh terjadinya Revolusi Perancis pada abad ke-15, bangsa Eropa mulai kembali pada romantisme era klasik yang sarat dengan konteks nalar rasional. Era ini disebut era Renaissance (pencerahan) dan meninggalkan era arsitektur yang bernuasakan agama. Ditandai dengan diktum Cogito Ergo Sum- nya Rene Descartes (ketika aku berpikir maka aku ada), arsitektur dikembalikan lagi pada skala manusia (antroposentris) dan era itu kemudian disebut sebagai era arsitektur Renaissance.
Perkembangan budaya dan teknologi terjadi sangat pesat di era ini,ditandai oleh terjadinya revolusi industri di Inggris sekitar pada abad ke-19. Perkembangan ini juga mempengaruhi arsitektur yaitu dengan munculnya era arsitektur modern. Seperti judul novel Charles Dickens, “A Tale of Two Cities” yang menggambarkan sebuah situasi perkotaan di mana terdapat ketidakadilan dan kekumuhan di tengah kemewahan kota. Situasi ini segera menyadarkan bahwa perumahan buruh perlu segera diproduksi besar-besaran di Eropa. Revolusi industri menunjang kebutuhan ini akibat dari penemuan berbagai teknologi bahan dan teknologi konstruksi untuk kepentingan produksi massal. Juga penemuan mekanika modern elevator sehingga bangunan bisa dipanjangkan ke atas mencakar langit. Selain arah selera estetika ditujukan pada kelas sosial ke bawah, teknologi juga dihayati efek bentuknya, sedangkan rasionalisme arsitektonik mulai pula dijelajahi. Ornamen mulai dipercayai oleh Adolf Loos sebagai wujud kejahatan arsitektural (ornament is a crime) karena tempelan dari ukiran dianggap sebagai kebenaran yang palsu. Maka konsep modernisme memang semakin mengkristal ke arah rasionalisme dan fungsionalisme yang digali dari era pencerahan (Aufklarung).
Fungsionalisme menjadi tujuan akhir dari era ini. Filosofis “bentuk mengikuti fungsi” yang dicetuskan oleh Louis Sullivan di Chicago menjadi doktrin yang sangat disukai. Pernyataan “less is more” oleh Mies van der Rohe.menjadi sebuah manifesto yang sangat pas dengan logika industri bangunan, bahwa estetika arsitektur harus berdasarkan prinsip itu.
Dari tradisi modern kemudian lahir sebuah pemahaman yang mencari otentisitas dari arah manifesto arsitektur modern yaitu gerakan avant garde. Di era ini arsitektur modern, arsitektur tradisional, dan klasik adalah representasi dan simbol dari penindasan yang dilakukan baik oleh feodalisme maupun totalitarianisme arsitokrasi. Dalam era arsitektur avant garde, seluruh tuntutan fungsionalisme modern secara teknis harus dapat dirumuskan terlebih dahulu ke dalam program arsitektur baru. Program menyimpan aksi-aksi dan rasionalitas ini yang kemudian membimbing lahirnya tipe-tipe rancangan arsitektur baru yang menurut Pevsner “jika sejarawan arsitektur meremehkan gaya, ia mandeg sebagai sejarawan”.
Pada tahun 1980, Paulo Portoghesi, Charles Jencks dan kawan-kawan berhasil mengorganisir biennale arsitektur dengan tema”kekinian masa lalu” di sebuah arsenal tua di Venezia. Disusul oleh pameran keliling “revisi atas yang modern : arsitektur postmodern 1960-1985” yang diselenggarakan oleh Heinrich Klotz. Kedua pertunjukan itu menunjukkan terjadinya perubahan besar dalam arsitektur selama dua dekade terakhir. Di sana terlihat hilangnya formalisme kesederhanaan yang universal-internasional ini. Bentuk yang muncul dalam era ini selain terpecah-pecah juga sering tak beraturan,diisi oleh rincian dekoratif dan ornamental yang terasa alusif (merupakan referensi tak langsung). Tradisi telah disambung kembali walaupun tak persis sama.
Robert Venturi di dalam bukunya yang berjudul Complexity and Contradiction in Architecture mencela arsitektur modern yang baik dalam praktek maupun akademis didominasi oleh Meisianisme: “less is more”. Venturi mengkritisi Mies sebagai ”penyederhana besar” dan mengubah doktrinnya dari “less is more” menjadi “less is bore”. Venturi berkeyakinan bahwa arsitektur postmodern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsi ( ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang monovokal).





ARCHITECTONIC

This leads us to the final of these three tools of vivisection, the “architectonic” approach to a work’s structure. By “architectonic” I do not mean the reductio ad absurdum of academic theory in which the standard forms of the classical period are parsed into their functionally related harmonic areas, divided into thematic and transitional sections, and finally fitted to the procrustean bed of one or another simplified label. This is, so to speak, a linguistic feature of common practice tonality, rather than a structural feature of an individual work; insofar as it is treated as a universally applicable mold, it is of dubious value even in the study of the works for which it was designed, much less in the study of pre-tonal music. Rather I mean the term to be understood in the broader and more useful sense: to describe not the unconscious linguistic factors of common practice music, but the very concrete, conscious structural device of setting up within a given work a unique and fundamental architectonic conflict. This conflict tends, in its nature, to be extralinguistic; its power derives from its intrusion upon the natural fabric of the language, the manner in which it lies outside, and hence disturbs and modifies, the natural flow of the musical dialect. Witness, in this respect, the Neapolitan tonal areas in middle Beethoven, or the mediant and submediant tonal areas in Brahms. In a work such as, say, the Appassionata sonata, the theme is introduced in the Neapolitan immediately following its initial tonic statement. This creates a parity of sorts between the two harmonic areas and sets the stage for their elemental conflict, a kind of dialectical process in which the Neapolitan serves as a foreign irritant, an alien harmonic area whose progressive growth alongside, clash with, and ultimate assuagement and integration into the home key form the backbone, both intellectual and visceral, of the work’s drama.
This pattern also applies, in dramatically expanded form, in Wagner. Vitally, as a way of thinking, it persists even in much music that has ceased to be tonal; early, freely atonal Schoenberg often treats motive and rhythm in terms of the same underlying dialectic of elemental conflict—see, for example, the first of the Five Orchestral Pieces, in which a single three-note motive is juxtaposed in incompatible rhythmic patterns, which clash with and conquer each other in the same manner as the halves of a Beethovenian harmonic duality. Understood in this sense, the architectonic conflict can be seen as the essential underlying schema of music after the Baroque. The predominant way to understand what the composer is doing, at a psychological level, is to understand this systematization of irregularity.
I believe that this will be in a sense the most fruitful tool for understanding Josquin’s music—precisely by virtue of its total absence. In the Missa L’Homme Armé we will find nowhere such a use of structural dissonance. Such dissonances as occur are largely a product of contrapuntal motion; harmonic areas never stray so far away as to come into fundamental conflict with the tonic. The modality of the work is, in a sense, neutral; Dorian is favored, and movements and sections may stray to different finals with little sense of a friction with the surrounding structure. Rather, each modal digression is a different “view” of sorts, a vision of the modal material from a slightly altered perspective.
In other words, I am trying first to understand this music by what it is not; and it is not the Beethovenian archetype of music, in form or in meaning. This may seem to be stating the obvious, but in fact it is quite the opposite; for the most part, this archetype has become so large in our vision of art music that we are no longer even capable of seeing it. Rather than remaking Josquin in Beethoven’s image, or in Bach’s, as an analytical method derived from the study of their archetypes would encourage, the best way to approach this music is as an archetype of its own, conspicuously alien to the post-Beethovenian tradition, and, for that matter, to the modern mind.
It is in fact possible to rigourously argue the nature of this archetype, if we accept as possible a couple of postulates. The first and most crucial of these is that great art tends toward a unity of style and substance—in other words, that the philosophical or visceral “essence” of a work tends to find some kind of objective mirror in the very nature of its structure. The intimate relationship between the architectonic duality and the Beethovenian rhetoric of suffering is a case in point. The second postulate is that there is at least an inkling of validity in the centuries-old notion, now fallen victim to the relativism of the present age, of some sort of emotional or even biological relation between dissonance and pain.


ARCHITEKTONIC REASONING

I would like to respond here to several common objections to the use of architectonic reasoning in philosophy, objections which might be looming large in the minds of many readers of Chapter III. First, in the light of the monumental developments in the field of logic in the past century, the assumption that the architectonic patterns we have been examining have anything to do with formal logic (even in its traditional sense) might seem to be nothing other than pedantic speculation, especi ally since I have made ample use of various geometrical figures which supposedly reflect the same patterns.
For anyone who is satisfied to interpret a philosopher without first adopting the presuppositions which were indispensable to that philosopher's way of thinking, this first objection would be decisive. But for anyone who thinks it is necessary to engross oneself in a philosopher's own presuppositions before regaining balance in order to form an accurate interpretation, my approach should seem less audacious. It is, after all, generally agreed that Kant believed all architectonic patterns to be based on the structure of formal logic. All I have done is to specify more explicitly than Kant himself ever did just what structure is exhibited by some of the simplest patterns implied by the most basic laws of formal logic. I have defended my use of models in sufficient detail in I.2-3; and the similarity of structure between such geometrical figures and various logical patterns is discussed in much greater detail in Pq18. On its own, of course, a figurative representation of a theory (or of any theoretical pattern) is of little value to the serious philosopher; but as an aid to clarifying and giving con ceptual unity to the nonfigurative theory which it represents, and to comparing the relationships between different theories, it can prove to be of great value indeed. One reason for going into such detail to establish and clarify the formal, architectonic patterns implied by Kant's Copernican Perspective is to make it easier for philosophers accustomed to thinking of logic entirely in propositional or analytic terms to put themselves in Kant's shoes before they attempt to interpret what he says.
Another objection is that formal (especially architectonic) systems are, in any case, illegitimate tools for philosophical inquiry, so any prolonged attention to their structure can only obscure the accuracy of one's interpretation. I have already replied to this objection in general terms in I.1 and at several points in Chapter III, so I shall limit my rebuttal at this point to three specific criticisms.
Wolff thinks that Kant must regard it as 'merely a happy accident' that the many artificial divisions which constitute 'the distortions of the architectonic' turn out to follow a common form [W21:209]. 'The whole business', he chides, 'smacks of that pre-established harmony which Kant elsewhere rejects as the very denial of philosophical explanation.' But to accuse Kant of inconsistency because he proposes and defends a theory of the architectonic unity of reason and yet rejects the rationalist doctrine of pre-established harmony is grossly unfair. The latter doctrine is a denial of philosophical explanation because it is a mere assumption, used specifically to fill in the gaps which the philosopher would otherwise be unable to account for. Kant rejects it because it presupposes the uncritical Perspective of transcendental realism [Kt1:331,A391]. Kant's Copernican Perspective, by contrast, is not an excuse for covering up philosophical ignorance. On the contrary, the architectonic plan it assumes from the outset is intended to help philosophers determine the proper philosophical answers to their various problems by providing a pattern according to which they can structure their ideas in the face of their ignorance of ultimate reality. Moreover, the plan is no arbitrary invention: it derives its validity from the simplest laws of formal logic; and it derives its explanatory power from the Copernican Perspective which, as we noted in III.1, interpreters of Kant generally agree was his fundamental assumption (viz., that the subject imposes a certain formal structure on all the objects it comes to know).
Unfortunately, Kant was unable to fulfill the important task of explicitly stating the precise logical basis of the patterns exhibited by reason's architectonic structure and used to organize his System of Perspectives. In Chapter III I have attempted to bring to light these formal patterns, which remain hidden in Kant's own exposition, by spelling out just what his architectonic plan entails. In the synthetic process of coming to understand this analytic structure, my own way of explaining the architectonic has undergone numerous changes, as can be seen, for example, by comparing Chapter III with Pq4. Although I do not anticipate any need for further changes in my account of Kant's architectonic, some further improvements may well present themselves in the future, without jeopardizing the validity of the overall approach I have adopted.
Kant himself experienced a very similar (and quite natural) process of gradually discovering how best to organize his System. The meticulous excavations of the 'patchwork' interpreters have brought to light the fact that Kant made innumerable changes in his conception of both the form and the content of his architectonic, especially during his 'silent decade' (roughly 1770-1780). On the basis of this discovery, it has become quite common to appeal to Kant's own indecision as evidence of the fraudulence of his claims to have discovered reason's 'fixed' form. Paulsen, for example, while admitting that 'Kant is inclined to see in this arduous labor the chief significance of his work' [P4:132-3], regards the entire architectonic as superfluous for two reasons [130; s.a. 170-1]. The first is that a thorough study of Kant's notes reveals that he worked out his architectonic plan only after arriving at all the essential doctrines of his Critical philosophy. And the second is that these notes also reveal Kant's uncertainty as to the details of his architectonic, thus proving 'how accidental, arbitrary, and variable the structure of the system really is, although it is apparently so fixed' [130n].
This common means of disposing of Kant's architectonic is invalid for the following reasons. Paulsen's first criticism actually carries no weight, since Kant never intended to use the architectonic to defend any of his other essential theories. It is only natural that an overall plan should come to light after the discovery of the elements that require ordering. Indeed, how could anyone be expected to discover the best way of organizing a set of ideas beforeknowing their content? As for the second and more common complaint, this too rests on a totally unreasonable expectation. The discovery of any complex truth, not excepting the logical structure of reason's architectonic form, can hardly be expected to fall from the sky in toto! On the contrary, the long process of struggling to understand such an idea (which seems to have been the primary reason for Kant's long delay in writing Kt1) should be taken as evidence of its true significance. The many variations explored in Kant's notes reveal nothing whatsoever about the existence or non-existence of a fixed rational form, but only that his own struggle to understand that form was long and arduous. Kant's mistake, then, was not to proclaim that such a fixed form is there to be discovered, but rather, to pretend he had fully revealed its ultimate structure.
Finally, Ryle argues in a more general way that 'the suggestion that [the philosopher's] problems, his results, or his procedures should or could be formalized is ... wildly astray' [R14:124]; he says it would be like a general asking his troops to rehearse their training exercises in the middle of a battle on the front line. For 'the hope that philosophical problems can be, by some stereotyped operations, reduced to standard problems in Formal Logic is a baseless dream' [126]. The latter point is certainly true: it would be a grave mistake to think philosophical problems-including the problems of interpreting another philosopher-can be reduced to problems in formal logic. My purpose in Chapter III, how ever, has not been to reduce Kant's System to a twelvefold logical pat tern, but rather to elucidate those patterns (i.e., to perfect the training exercises) which guided Kant as he constructed his arguments (i.e., his wartime tactics). The legitimacy of such a task is implied by a more recent logician, who maintains that 'if the truth-value of a sentence in a situation is determined in a describable way by the intensions [i.e., relations] of its constituents [i.e., components], then a system of logic is there to be discovered' [H19:246]. Kant's logical system on its own means nothing until the content of his System of Perspectives is structured around it. But it is nevertheless just as important to clarify these patterns beforehand as it is to practise training exercises before the battle. Otherwise Kant's step-by-step account of the conditions imposed by the subject on the object is bound to appear to be nothing but a Critical 'sausage factory', as it has sometimes been called.
Replying to other objections at this point would not bring us any closer to a conclusive justification of the legitimacy of Chapter III's interpretation of the architectonic form of Kant's System. For its validity can ultimately be defended only by testing the compatibility of each system with the detailed textual content which can be put into it from Kant's own works. Fulfilling this task is the main purpose of Part Three







Pengaruh arsitektonik dengan arsitektur

Sydney Opera House

Sydney Opera House , Australia designed by Utzon . Sydney Opera House, Australia dirancang oleh Utzon.
Nunzia Rondanini stated, "Through its aesthetic dimension architecture goes beyond the functional aspects that it has in common with other human sciences. Through its own particular way of expressing values , architecture can stimulate and influence social life without presuming that, in and of itself, it will promote social development.' Nunzia Rondanini menyatakan, "Melalui dimensi estetika arsitektur melampaui aspek-aspek fungsional yang memiliki kesamaan dengan ilmu-ilmu manusia lainnya. Melalui cara tertentu sendiri mengungkapkan nilai-nilai, arsitektur dapat merangsang dan mempengaruhi kehidupan sosial tanpa menganggap bahwa, dalam dan dari dirinya sendiri, akan mempromosikan pembangunansosial. " To restrict the meaning of (architectural) formalism to art for art's sake is not only reactionary; it can also be a purposeless quest for perfection or originality which degrades form into a mere instrumentality". Untuk membatasi makna (arsitektur) formalisme seni demi seni tidak hanya reaksioner, tetapi juga bisa menjadi tujuan pencarian kesempurnaan atau orisinalitas yang membentuk degradasi menjadi sarana belaka ". Among the philosophies that have influenced modern architects and their approach to building design are rationalism , empiricism , structuralism , poststructuralism , and phenomenology . Di antara filsafat yang telah mempengaruhi arsitek modern dan pendekatan desain bangunan adalah rasionalisme, empirisisme, strukturalisme, pascastrukturalisme, dan fenomenologi.
In the late 20th century a new concept was added to those included in the compass of both structure and function, the consideration of sustainability . Pada akhir abad ke-20 konsep baru telah ditambahkan ke yang termasuk dalam kompas dari kedua struktur dan fungsi, pertimbangan keberlanjutan. To satisfy the contemporary ethos a building should be constructed in a manner which is environmentally friendly in terms of the production of its materials, its impact upon the natural and built environment of its surrounding area and the demands that it makes upon non-sustainable power sources for heating, cooling, water and waste management and lighting . Untuk memenuhi etos kontemporer bangunan harus dibangun dengan cara yang ramah lingkungan dalam hal produksi dari bahan-bahan, dampaknya pada alam dan membangun lingkungan sekitarnya dan tuntutan bahwa itu membuat tidak berkesinambungan atas sumber daya untuk pemanas, pendingin, air dan pengelolaan limbah dan pencahayaan.








Mendut

Chandi Mendut menghadap barat berlawanan dengan Chandi Borobudur yang berada di depan timur. Bangunan terakhir disebut stupa, bekas sebuah "chandi". Kata ini berasal dari "Chandika", salah satu nama dari Durga, Dewa kematian.
Menurut kebiasaan Budha sebuah "chandi" digunakan untuk upacara, sebagaimana yang digunakan Hindu untuk membangun sebuah "chandi" sebagai tempat suci untuk melindungi ukiran raja atau orang penting lainnya. Maka Chandi Mendut digunakan hanya untuk beribadah melayani (Dharma Dhatu. Hari Waisak dirayakan di Chandi Mendut, Chandi Borobudur dalam masa pemugaran sekarang). Stupa Borobudur adalah tempat permulaan untuk pendatang baru yang dinobatkan menjadi imam. Menurut Dr. J.G de Casparis, tulisan tentang prasasti Karangtengah (Temanggung) sejak tahun 824 Masehi, terungkaplah bahwa nama "Mendut" adalah berasal dari bahasa Sansekerta pada masa Venu (bambu), belukar Vana; Mandira (kuil), kedudukan untuk "sebuah kuil yang berada ditengah-tengah belukar bambu".
Chandi Mendut telah dibangun pada waktu yang sama seperti Borobudur, pada pertengahan kedua dari abad ke-8, banyak kemungkinan yang diambil oleh sailendra yaitu Raja Sri Maharaja Panangkaran.
Ketika memasuki depan pintu gerbang melalui tangga kami tiba di serambi, di belakang dinding yang dihiasi dengan ukiran, menggambarkan pohon Kaplavreksa (permata yang mempunyai hubungan dengan keinginan pohon) yang keduanya membagi dua, dimana permukaan dinding berada di sebelah utara (kiri) yang menggambarkan Dewa Hariti, dikelilingi oleh anak-anaknya (lambang dari kesuburan) dan pada permukaan dinding sebelah selatan kita bisa melihat Dewa Jambhala atau Kuwera (lambang dari kesehatan), yang juga berada di tengah-tengah keturunannya. Ukiran di atas kepala menunjukkan Dewa, dilihat dari atas.
Ketika memasuki pertengahan sel kita melihat patung Budha Sakyamuni, yang sedang duduk di atas singgasana (prabha) yang masing-masing di atas tangan sebelah kiri dan sebelah tangan terdapat patung Avalokite Iswara (arca kecil dari Amitaba di makotanya) dan Vajranity dalam kumpulan. Di bawah patung Budha Sakyamuni kami membedakan roda Chakra diantara dua rusa. Sikap tangan dari arca Budha adalah membentuk roda hukum penyebab dan pengaruh (Dharma Chakra Mudra). Budha Sakyamuni digambarkan menyebarkan ajaran Budha di taman rusa di kota Benares. Luar biasa, Budha tidak biasa berjalan kaki ketika mengadakan kunjungan, tetapi kedua kakinya menggantung (Pralambha - Padasana).
Tanda-tanda yang berbeda lainnya dari Budha Sakyamuni adalah rambut keriting dengan benjolan yang menonjol keluar, dan di tengah-tengah dahi terdapat simpul kecil, menggambarkan mata ketiga. Telinganya panjang dan matanya difukuskan di atas ujung hidung yang memiliki mimik wajah yang tenang. Di sekitar leher terdapat 3 (tiga) kalung yang dapat dilihat secara jelas. Ada juga cincin lambang kebahagiaan. Jubahnya digambarkan seperti dibuat dari kain tipis, dengan kata lain bahwa patung itu kelihatan seperti telanjang. Seyogyanya patung ini dibuat di bawah pengaruh kesenian Gandara. Di depan patung terdapat 6 (enam) relung yang kosong. Dengan kemungkinan seluruh relung ini adalah bekas digunakan untuk meletakkannya di dalam lilin untuk beribadah. Langit-langit dari sel memiliki susunan piramid. Hal terpenting tentang atap piramid adalah merupakan dasar dari setengah puncak yang menahan seluruh batu yang berbentuk atap.
Di sebelah luar dari badan kuil ("kematian") kita bisa menemukan arca Dewi Tara (Sakta atau roh Budha), diukir di permukaan dinding sebelah utara; Avalokite Iswara berada di permukaan dinding sebelah timur dan Manjusri di sisi satu lainnya yaitu sebelah selatan.
Di setiap susuran tangga dari tangga, menuntun ke kuil, pahatannya menggambarkan cerita dari Jatakas, yang juga dapat ditemukan di dalam hiasan kaki dari "kematian" (sesuai dengan bentuk tubuh hewan), umpamanya cerita tentang burung kepala dua, buaya yang bodoh dengan monyet, burung dan monyet dan lain-lain. Di soubassement, kita bisa menemukan hiasan yang kami kenal dengan permadani dan arca dari Bodhisattwa (Vidyadaras) menengadah ke atas dalam memuja Trinity (Budha - Dharma - Sanga) dalam sel.
Chandi Mendut telah mengalami perubahan menjadi seperti susunan architectonic . Semula kuil dibangun di terra cotta, kemudian, dilapisi dengan batu andesite dengan bentuk masih bersisa sejak itu.






































Sumber

www.hkbu.edu.hk/~ppp/pf/PKglos.htm

(Complete and Unabridged 6th Edition 2003. © William Collins Sons & Co. Ltd 1979, 1986 © HarperCollins Publishers 1991, 1994, 1998, 2000, 2003)
ms-my.facebook.com/event.php?eid=74527441378...1...1 – Malaysia
www.wordwebonline.com/en/ARCHITECTONIC

www.asiamaya.com/panduasia/indonesia/e-05jawa/ei-jaw14_b.htm

http://creative5uite.wordpress.com/art-nouveau/




REFERENSI

Sumarjo, J. (2006). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press.
Siswanto, A. (1994). Menyangkal Totalitas dan Fungsionalisme: Postmodernisme dalam Arsitektur dan Desain Kota. Postmodernisme di Sekitar Kita. Kalam, (1): 32.
Zacky, A. ( 1991). Architecture Francaise. Yogyakarta: Intermedia.
Solomon, R dan Higgins, K. (1996). Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya.
Stephen Palmquist (stevepq@hkbu.edu.hk)

ARSITEKTUR PALEMBANG

arsitektur palembang

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Arsitektur adalah ilmu yang mempelajari tentang metode desain dan proses perancangan suatu bangunan. Dalam mendalami ilmu arsitektur, kita akan mempelajari sub-disiplin ilmu lain yang mendukung dan merupakan bagian dari ilmu arsitektur itu sendiri. Salah satu sub-disiplin ilmu arsitektur adalah Pengantar Teknologi Bahan.
Teknologi Bahan adalah suatu ilmu yang memepelajari tentang material yang digunakan untuk dapat membangun suatu bangunan dengan baik dan memepelajari teknik untuk membangun suatu bangunan.
Pengantar Teknologi Bahan merupakan salah satu mata kuliah di jurusan Arsitektur. Manfaat dari mempelajari Pengantar Teknologi Bahan adalah agar kita sebagai mahasiswa jurusan Arsitektur mengetahui perkembangan teknologi terbaru khususnya yang berhubungan dengan bidang arsitektur, sehingga dapat membantu kita dalam memecahkan masalah arsitektur. Selain itu agar kita mengetahui berbagai bahan yang dapat digunakan dalam perancangan suatu bangunan dan dapat memilih bahan yang tepat untuk suatu bangunan.


1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas yang diberikan oleh dosen kami pada mata kuliah Pengantar Teknologi Bahan
Tujuan dari penulisan makalah ini agar kami sebagai mahasiswa arsitektur mengetahui teknologi bahan yang digunakan pada rumah tradisional dan dapat menerapkan teknologi modern dalam membangun sebuah rumah tradisional. Selain itu untuk menggugah kesaadaran kita dalam melestarikan kebudayaan tradisional bangsa kita agar tidak diklaim oleh bangsa lain.





1.3 Ruang Lingkup

Agar dapat menyusun makalah ini dengan baik, beberapa metode pencarian data – data telah kami jalani. Metode pertama yang kami lakukan adlah studi literatur di perpustakaan Universitas Gunadarma Kampus D. Disana kami memperoleh sebuah buku berjudul “Kompendium Sejarah Arsitektur” karangan Djauhari Sumintardja yang kemudian kami jadikan sebagai referensi.
Untuk menambah referensi, kami juga mencari data – data di internet, disana kami mendapat data – data yang cukup banyak mengenai topik yang kami pilih yaitu Arsitektur Tradisional Palembang.
Setelah mencari data – data lewat studi literatur, kami pun menjalani studi lapangan. Kami tidak datang langsung ke Kota Palembang mengingat ketiadaan dana untuk datang lansung kesana, sebagai solusinya kami mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah karena disana terdapat berbagai contoh bangunan tradisional Nusantara, salah satunya bangunan tradisional Palembang. Kami pun mendapat banyak informasi disana dan mendokumentasikan bangunan tersebut untuk dimasukkan ke dalam makalah ini, agar informasi yang kami dapat memberikan informasi yang lengkap.


1.4 Hasil yang diharapkan

Hasil yang kami yang kami harapkan dalam penyusunan makalah ini adalah agar kita sebagai bangsa Indonesia pada umumnya dapat mengenali dan melestarikan kebudayaan bangsa kita sendiri agar tidak punah dan tidak diklaim oleh bangsa lain, dan sebagai mahasiswa Arsitektur kita dapat mempelajari ciri khas arsitektur budaya tradisional serta mempelajari teknologi bahan yang digunakanpada arsitektur tradisional Kota Palembang sehiungga kita dapat menerapkannya pada arsitektur modern ataupun kita dapat menerapkan teknologi modern dalam perancangan suatu bangunan tradisional, khususnya bangunan tradisional di Kota Palembang.


1.5 Sistematika Pembahasan

Makalah yang kami susun ini terdiri dari 3 bab. Bab pertama adalah Pendahuluan, bab kedua adalah Tinjauan Teori dan Pembahasan pada bab ketiga.
Bab Pendahuluan terdiri dari 5 sub-bahasan, yaitu: latar belakang yang memaparkan tentang definisi dari Teknologi Bahan serta manfaat mempelajarinya, ruang lingkup yang menjelaskan tentang tahapan – tahapan metode yang kami gunakan untuk mencari data – data, maksud dan tujuan yang memaparkan maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini, hasil yang diharapkan dan sub-bahasan terakhir adalah sistematika pembahasan yang berisi susunan makalah ini.
Bab Tinjauan Teori berisi tentang data – data yang kami peroleh mengenai sejarah penerapan teknologi bahan atau bangunan pada arsitektur tradisional, teknologi bahan atau bangunan yang digunakan serta jenis material yang dipakai.
Sedangkan pada bab Pembahasan berisi hasil studi lapangan kami di Taman Mini Indonesia Indah, serta penerapan teknologi bahan modern pada Rumah Limas Palembang.

Palembang adalah ibu kota sumatra selatan yang sebagian besar wilayahnya dialiri anak sungai musi, sehingga sebagian daratannya berupa rawa. Rumah tradisional palembang menyesuaikan dengan kondisi alam berupa rumah panggung yang dibangun di wilayah daratan dengan kondisi berawa, yang dikenal dengan rumah limas atau rumah bari.
Rumah Limas memiliki ciri – ciri sebagai berikut:
• Atap berbentuk limas (piramida terpenggal)
• Berdinding papan
• Lantainya bertingkat – tingkat (kijing)
• Memiliki ornament dan ukiran pada tiang, dinding dan plafonnya yang mencirikan identitas budaya palembang.
• Atap, dinding dan lantai bertopang di atas tiang –tiang yang tertanam di tanah

a. Pondasi
Ponasi disesuaikan dengan kondisi alam sekitar yang berawa, teknisnya menyerupai pondasi cakar ayam. Karena bentuk rumah berupa panggung maka digunakan pondasi setempat.
Tiang “cagak” berdiri di atas landasan papan tebal yang disebut “tapak-an cagak”. Tapak-an cagak yang saling menyilang dengan balok disebut “botek-an”. 30-40 cm




Dengan system ujung lobang bernama “puting” dan “lobang puting”


b. Kolom (soko)
Tiang kolom/soko pada rumah limas dibagi menjadi 2 yaitu soko guru(tiang utama) dan soko damas(tiang pendukung)
1. Soko Guru
“Soko Guru” Tiang utama yang terbuat dari kayu unglen yang berukiran yenta prada emas.
Pada tiang utama sejauh mungkin menghindari adanya sambungan. Tiang-tiang berbentuk bulat dengan diameter rata-rata 30 sampai 40 cm.
2. Soko Damas

“Soko Damas” adalah tiang pendukung yang berukiran transparan, di atas tiang bermotif kuncup dan kelopak melati (melambangkan sopan santun). Ukiran di bawah tiang bermotif pucuk rebung (makna: keagungan) dan bunga tanjung (makna: kebesaran). Tiang-tiang berbentuk kotak

System Sambungan Lantai dan Dinding
Untuk lantai dan dinding digunakan system sambungan yang sama, dengan istilah “system lanang betino” sesuai dengan artinya laki-laki dan perempuan papan-papan tegak ini saling mengait dan berpasangan. Di setiap kijing memiliki beda ketinggian sekitar 30cm-40cm. Pada bagian pengkeng ketinggian bertambah lagi 60 cm.
“System lanang-betino”



Sambungan antara tiang soko dengan papan dinding yang disusun tegak.

c. Atap

simbar
tanduk kambing

genteng bela boulo/
genteng Palembang
SIMBAR (tanduk menjangan atau cerum coronarium) sebagai:
- tumbuhan pelopor
-hidup di pohon tinggi tinggi.
Sifat ini dianalogikan dengan masyarakat palemabang yang mandiri.
Tanduk kambing
Pada atap rumah terdapat hiasan “tanduk kambing”atau disebut juga “daun pandan”, jumlah tanduk menunjukkan tingkat sosial pemilik rumah.
Atap limas
1. Berbentuk piramida terpenggal
2. Sudut kemiringan utama 600 dan 200
3. Untuk konstruksi utama atap (alang susunan) digunakan kayu seru, Kayu ini tidak boleh digunakan dibagian bawah, terinjak kaki

Detail kasaw,alang panjang dan soko pada atap.

kasaw(kaso)

alang panjang(ring balk)

soko

tumbukan kasaw(lisplang)




d. Pintu
Pintu terbuat dari kayu unglen dan petanang. Satu daun pintu memiliki lebar sekitar 60cm-70cm.


Letak soko, alang panjang dan jenang/kusen. Di setiap pertemuan konstruksi ada ujung dan lobangnya seperti “jalu” lawan ”spein dan “putting” lawan ”lobang putting”







e. Jendela
Jendela dibuat berpasangan, berada di kanan kiri. Pada setiap ruangan memiliki 2 pasang jendela. Lebar masing-masing jendela sekitar 60cm-70cm.
Pada bagian atas jendela dan pintu, terlihat jelas ukiran indah huruf Arab (kaligrafi) bertinta emas.







f. Tangga
Tangga ini terbuat dari papan kayu uglen.Terdiri dari 7 anak tangga berdasarkan filosofi 7 lapisan pegunungan - pengaruh Budhisme-.
Terdapat 4 tangga (2 di depan dan 2 disamping) semuanya menuju ke serambi. Model tangga lurus (single flight stairway) dilengkapi besi berbentuk tombak

g. Pagar tenggalong
Pagar tenggalong adalah pagar yang menjulang hingga plafon. Tujuan dari pagar di buat tinggi adalah agar anak perempuan tidak keluar sembarangan.


Denah




Potongan

Rabu, 10 Februari 2010

waterfall













Architects: Andres Remy Arquitectos
Location: Buenos Aires, Argentina
Project Team: Andres Remy, Flavia Bellani, Marcos Pozzo, Paula Mancini, Laura Rodriguez Segat, Leandra Rodriguez Llebana
Construction Management: Andres Remy & Laura Rodriguez Segat
Structural Engineering: Carlos Dolhare
Project Area: 340 sqm
Project Year: 2005
Photographs: Alejandro Peral & Juan Raña


The waterfall house was conceived by the request of a young business man in a closed neighborhood. The particularities and requisites of the client, among with the lot’s characteristics, established the path to follow in the design process.

The borders of the small lot we are referring to, seem to disappear in the predominant visuals: the lake.

The surrounding houses, the sun’s path and the visual were needed to understand the emplacement.


















At the back of the lot, at the ground level the lake has a shy presence. So it was considered to raise up to get a better look at the lake. This is the reason why it was decided to place the social area in the upper level, conquering the panoramic views to the lake during the day.
It is there where the water shows up. Unexpected at that height, it embraces the architecture and paints it with reflections, bringing life and movement.

Appearing and disappearing to the eyes of the user, relaxing with it’s sound, dazzling with reflects, going through a path that stimulates the senses.

The shallow pool expands the house limits, making them infinite. It erases the line between natural and artificial, inside and outside.

The elevated water falls, as a waterfall, over the swimming pool in the lower floor, refreshing the rooms and providing privacy at the same time. The water fall also filters the northern light making it less harmful.

































The waterfall is the icon of this house; this is why it was named after it.

About the functionality of the house, we designed flexible spaces, so it could be adapted as much as to the social active life of our client, as to the needs of a future family. The flexibility allows isolating the private areas in the lower floor from the public areas in the first floor and part of the lower floor.

As a way to connect the street life with the inside of the house, was designed a mixed use room, used as a garage, playroom or to host parties.

The vertical circulation in triple height baths the inside with cenital light, joining the different levels.
The volumetric game outside and inside vanishes at the back, opening the spaces to the lake.
The balance between full and empty tries to avoid the adverse effects big windows may cause to thermal isolation.
In contrast, the front presents a closed design holding the service areas and giving privacy to the house.





































from http://www.archdaily.com/41859/waterfall-house-andres-remy-arquitectos/